Rabu, 24 Desember 2014

Mu'tazilah n Asy'ariyah



BAB II PEMBAHASAN

A.    Rasionalisme Mu’tazilah
Mu’tazilah atau disebut juga dengan “kaum rasionalis islam”, karena lebih banyak menggunakan akal. Harun Nasution, menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan yang lebih dalam dan bersifat filosofis.
Ciri khas paling khusus dari Mu’tazilah ialah mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk meghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hokum kokoh yang tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan Descrates dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis), tetapi tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql kepada hokum akal. Mereka menetapkan bahwa pikiran-pikiran (akal) adalah sebelum sam’i. untuk itu mereka menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad.
Aliran Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini, mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke dalam, antar sesame mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan pandangan-pandangan yang paling aneh dan absurb seallipun, untuk dianalisa dan dikonfirmasikan kesalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian dikalangan mereka sendiri. Tidak ada aliran teologi yang membiasakan kemerdekaan pendapat seperti kaum Mu’tazilah. Pembiasaan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam perpecahan yang terjadi di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak-anak dari satu keluarga saling menuduh kafir. Tuduhan inilah ayng begitu populer pada banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para pemikir merdeka itu mengharuskan manusia membawa pedang untuk menumpas bsebagian pandangan mereka, khususnya yang tidak ada hubungannya dengan inti akidah.
Pokok-Pokok Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah.
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
1.      Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka mengingkari ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafs al sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini, menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim maka mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid atau keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti diatas.


2.      Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan Ghailan. Tuhan kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan zhalim. Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang mewujudkan perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak patuhnya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh balasannya. Dan untuk mewujudkan perbutan itu tuhan memberikan daya dan kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak punya daya dan kekuatan untuk berbuat.

3.       Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.

4.      Al-Manzilah Baina Manzilatain
 Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagaimana disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa besar ia masih mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang serupa ini jika mati belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan yang di terima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.

5.      Amar Ma`ruf Nahi Munkar
 yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1.      Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2.      Kewajiban mengetahui Tuhan.
3.      Mengetahui baik dan jahat.
4.      Kewajiban mengatahui baik dan jahat.
Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a.  Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
b.  Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c.  Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d.  Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.

B.        Kontekstualisme Asy’ariyah
Mazhab Asy’ariyah bertumpu pada Al-Qur’an dan al-sunnah. Karena As’ari bertumpu pada teks Al-Qur’an dan Hadis ini maka Asy’ariah adalah golongan yang kontekstualisme. Asy’ari mengatakan :”pendapat yang kami ketengahkan dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh kepada kitab Allah, Sunnah Nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan Imam-imam Hadis. Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional.
Pada prinsipnya, kaum Asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql (teks-teks agama). Bahkan sebaliknya, mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka anggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Dengan akal kita akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.


Ajran-ajaranAsy’ariah antara lain:
1.      sifat Tuhan
karena kontar dengan mu’tazilah, al-asyari membawa paham tuhan mempunyai sifat. menurutnya, mustahil Tuhan mengetahui dengan dzat-Nya, karena ini akan membawa kesimpulan bahwa dzat Tuhan itu pengetahuan-Nya, dan dengan demikian tuhan sendiri menjadi pengetahuan. padahal, Tuahan Bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi yang maha mengetahui (‘alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya. demikian dengan sifat-sifat Tuhan lainnya, seperti hidup, berkuasa, mendengar, melihat dsb
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dll), sesuai dengan czat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sufat – sifat makhluk. Tuhan dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan seterusnya
2.       Dalil Adanya Tuhan
Menurut mu’tazilah, alasan manusia harus percaya kepada Tuhan karena akal manusia sendiri yang menyimpulkan bahwa tuhan itu ada. sedangkan menurut asy’ariyah, manusia wajib meyakini Tuhan karena Nabi muhammad mengajarkannya bahwa tuhan itu ada sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. jadi, manusia wajib percaya terhadap adanya tuahan karena diperintahkan Tuhan dan perintah ini ditangkap akal. disini Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan dan akal sebagai instrumennya.
3.      kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Dalam masalah ini asy’ariyah mengambil posisi tengah antara pendapat jabariah dan mu’tazilah. menurut jabariyah, manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan menurut mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan perbuatan dengan daya yang diberiakn tuhan kepadanya. sebagai jalan kelauar dari dua pendapat yang bertentangan itu, asy’ariyah mengambil faham kasab sebagai jalan tengahnya, yang sulit dimenegrti kecuali bila paham kasab itu dipandang, sebagai usaha untuk menjauhi jabariah dan qodariah. namun setelah melalui jalan yang berbelit-belit akhirnya asy’ariyah menjatuhkan pilihannya kepada paham jabariyah.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan
4.      melihat Tuhan di akhirat
Menurut asyariyah, Tuhan dapat dilihat diakhirat. alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan. sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan . Firman Allah dalam QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23: 

Artinya :
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23)
5.      kedudukan Al-Qur’an
Berbeda dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan al-Qur’an itu diciptakan, asy’ariyah justru berpendapat bahwa al-Qur’an, sebagai manifestasi kalam Allah yang qadim, tidak diciptakan. menurut asy’ariyah jika al-qur’an diciptakan diperlukan kata kun, dan untuk terciptanya kun yang lain, dan seterusnya hingga tidak ada habis-habisnya dengan demikian al-qur’an tidak mungkin diciptakan (baru). yang baru itu al-Qur’an berupa huruf dan suara sebagaimana yang ditulis dalam mushaf.
. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
6.      Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga
7.      Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.




DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
Abdurrazak, Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Jakarta : Pustaka Setia, 2005

Rumusan Masalah Penelitian R & D



BAB II PEMBAHASAN

Tiap kerja meneliti harus mempunyai masalah penelitian untuk dipecahkan. Pemecahan masalah yang dirumuskan dalam penelitian, sangat berguna untuk membersihkan kebingungan akan suatu hal.  Karenanya, peneliti harus dapat memilih suatu masalah bagi penelitiannya, dan merumuskannya untuk memperoleh jawaban terhadap masalah tersebut. Perumusan masalah merupakan awal dari penelitian, dan merupakan langkah yang penting.
Secara umum masalah diidentifikasikan sebagai keadaan atau kesenjangan antara harapan (what should be) dan kenyataan (what is). Masalah itulah yang selanjutnya kita identifikasi. Masalah dianggap  sebagai kebutuhan yang diinginkan dan kebutuhan yang ada.[1]
Mengindentifikasi masalah  berarti mengenali masalah yaitu dengan cara mendaftar factor-faktor yang berupa masalah. Berdasarkan identifikasi terhadap masalah-masalah, maka peneliti menentukan skala prioritas yaitu menentukan masalah-masalah mana yang perlu segera dilakukan pemecahan. Seseorang harus menemukan dan membatasi  bukan hanya masalah yang lebih umum, tetapi juga masalah yang lebih khusus atau lebih operasional. 
Suatu masalah yang dipilih, menurut Tuckman (1999) harus memiliki ciri-ciri khusus ( karakteristik) sebagai berikut:
1.      Masalah menanyakan hubungan antara dua atau lebih variable
2.      Masalah dinyatakan atau dirumuskan secara jelas dan tidak ambigius, artinya tidak memiliki banyak penafsiran
3.      Masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (atau, kalau tidak dalam bentuk suatu pernyataan secara implisit seperti: tujuan penelitian ini adalah ingin menentukan apakah,,…)
4.      Masalah itu dapat diuji melalui metode empiris, artinya adanya kemungkinan pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan
5.      Masalah tidak menyangkut moral dan etika, artinya masalah tidak berkenaan dengan hal-hal yang baik buruk, nilai-nilai[2]

A.       Pengertian Rumusan Masalah
Penelitian itu dilakukan adalah untuk mendapatkan data yang antara lain digunakan untuk memecahkan masalah. Karena itu, setiap penelitian yang akan dilakukan haruslah selalu berangkat dari masalah, seperti yang telah diungkapkan oleh Emory, bahwa “Baik penelitian murni maupun terapan, semuanya berangkat dari masalah”.[3]  Masalah diartikan sebagai suatu kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi, sedangkan rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data.[4]  
Perumusan masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.[5] Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi.[6]
Ada beberapa para ahli mendefinisikan tentang rumusan masalah, diantaranya:
1.      Menurut Pariata Westra (1981 : 263 ) bahwa “Suatu masalah yang terjadi apabila seseorang berusaha mencoba suatu tujuan atau percobaannya yang pertama untuk mencapai tujuan itu hingga berhasil.”
2.      Menurut Sutrisno Hadi ( 1973 : 3 ) “Masalah adalah kejadian yang menimbulkan pertanyaan kenapa dan kenapa”.
3.      Sebagaimana yang ditulis oleh Sukajati (2008), bahwa pada intinya, rumusan masalah seharusnya mengandung deskripsi tentang kenyataan yang ada dan keadaan yang diinginkan.[7]
Dari  beberapa  pengertian masalah dan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah itu adalah suatu pertanyaan-pertanyaan pemandu yang akan dijadikan dasar atau landasan bagi seorang peneliti guna mendapatkan jawaban dari suatu masalah yang telah diangkat sebelumnya dalam suatu penelitian. Perumusan masalah adalah suatu masalah dalam penelitian petunjuk yang mengarahkan peneliti untuk memformulasikan secara ringkas, jelas, dan tajam, tentang permasalahan utama yang ada di latar belakang, identifikasi masalah penelitian. rumusan masalah yang baik adalah menyatakan hubungan antara dua variabel atau dua tema. dalam merumuskan masalah secara spesifik teori memainkan peranan yanng penting yang berhubungan dengan tema yang hendak diteliti.

B.        Tujuan Perumusan Masalah
Berdasarkan tentang pengertian dari rumusan masalah diatas, yaitu sebagai pertanyaan-pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya dalam sebuah penelitian, maka menurut Nazir (1999: 111), tujuan dari pemilihan dan perumusan masalah itu sendiri adalah untuk;[8]
1.         Mencari sesuatu dalam rangka pemuasan akademis seseorang
2.         Memuaskan perhatian serta keingintahuan seseorang akan hal-hal yang baru
3.         Meletakkan dasar untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya ataupun dasar untuk penelitian selanjutnya.
4.         Memenuhi kegiatan social
5.         Menyediakan sesuatu yang bermanfaat
Bagian rumusan masalah berisi tentang masalah-masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitian. Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu
1.         Sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan.
2.         Sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Perumusan masalah ini tidak berharga mati, akan tetapi dapat berkembang dan berubah setelah peneliti sampai di lapangan.
3.         Sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Keputusan memilih data mana yang perlu dan data mana yang tidak perlu dapat dilakukan peneliti, karena melalui perumusan masalah peneliti menjadi tahu mengenai data yang bagaimana yang relevan dan data yang bagaimana yang tidak relevan bagi kegiatan penelitiannya.
4.         Dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian

C.       Syarat Perumusan Masalah
1.         Dirumuskan dalam bentuk pertanyaan/pernyataan
2.         Dirumuskan dalam susunan kalimat yang sederhana dan mengurangi penggunaan istilah yang belum baku
3.         Singkat, jelas, padat, tidak menimbulkan kerancuan
4.         Mencerminkan keinginan yang hendak dicari
5.         Tidak mempersulit dalam pencarian data lapangan terhadap data langka
6.         Harus direfleksikan di dalam judul
D.       Perumusan Masalah Penelitian Pengembangan
Rumusan masalah pengembangan biasanya dinyatakan dalam bentuk kesenjangan, atau kondisi belum (kurang) terpenuhinya sesuatu. Rumusan masalah pengembangan kadang kala tidak dinyatakan dalam ungkapan kalimat pertanyaan, namun dalam bentuk pernyataan yang mengandung masalah. contoh rumusan masalah penelitian pengembangan dapat diungkapkan seperti berikut ini.
“… pada kenyataannya telah memberikan kontribusi bagi peningkatan hasil belajar siswa. Namun demikian, saat ini masih belum tersedia multimedia pembelajaran interaktif dalam pembelajaran ilmu pengetahuan social (IPS). Untuk itulah, perlu dikembangkan multimedia pembelajaran tersebut.
Ungkapan masih belum tersedia diatas menggambarkan suatu keadaan yang belum terpenuhi, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Ungkapan yang senada dan sering dipakai dalam merumuskan masalah penelitian dan pengembangan, misalnya, masih kurang, belum tersedia, tidak ada atau tidak tersedia, dan sejenisnya.
Rumusan masalah penelitian pengembangan ini biasanya diikuti dengan alternative pemecahan yang ditawarkan oleh pengembang. Alternative pemecahan terhadap suatu kesenjangan atau kebutuhan tersebut dijawan memalui suatu produk yang dihasilkan dalam pengembangan. Pengembang kemudian mencoba menghasilkan produk dengan prototype tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.[9]
Jika pengembang ingin melakukan pengujian tentang efektivitas, maka masalah penelitian pengembangan dirumuskan dengan menggunakan kalimat Tanya, misalnya sebagai berikut: Apakah pengembangan multimedia interaktif dalam mata pelajaran IPS efektif untuk meningkatkan pembelajaran IPS? Secara khusus masalah-masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:[10]
1.      Apakah pengembangan multimedia interaktif dalam mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar X dapat meningkatkan hasil belajar berupa pemahaman konsep siswa kelas V?
2.      Apakah penampilan multimedia interaktif dalam mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar X efektif untuk meningkatkan motivasi belajar siswa
Pada rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian pengembangan biasanya berisi dua informasi, yaitu (1) masalah yang akan dipecahkan dan (2) spesifikasi pembelajaran, model, soal, atau perangkat yang akan dihasilkan untuk memecahkan masalah tersebut. Selama dua aspek ini terkandung dalam sebuah rumusan masalah penelitian pengembangan, maka rumusan masalah tersebut sudah benar.






BAB III KESIMPULAN

A.       Pengertian perumusan masalah
Rumusan masalah itu adalah suatu pertanyaan-pertanyaan pemandu yang akan dijadikan dasar atau landasan bagi seorang peneliti guna mendapatkan jawaban dari suatu masalah yang telah diangkat sebelumnya dalam suatu penelitian.
B.        Tujuan dari perumusan masalah
1.      Mencari sesuatu dalam rangka pemuasan akademis seseorang
2.      Memuaskan perhatian serta keingintahuan seseorang akan hal-hal yang baru
3.      Meletakkan dasar untuk memecahkan beberapa penemuan penelitian sebelumnya ataupun dasar untuk penelitian selanjutnya.
4.      Memenuhi kegiatan social
5.      Menyediakan sesuatu yang bermanfaat
C.       Syarat perumusan masalah
1.      Dirumuskan dalam bentuk pertanyaan/pernyataan
2.      Dirumuskan dalam susunan kalimat yang sederhana dan mengurangi penggunaan istilah yang belum baku
3.      Singkat, jelas, padat, tidak menimbulkan kerancuan
4.      Mencerminkan keinginan yang hendak dicari
5.      Tidak mempersulit dalam pencarian data lapangan terhadap data langka
6.      Harus direfleksikan di dalam judul
D.       Perumusan masalah penelitian pengembangan
Rumusan masalah pengembangan biasanya dinyatakan dalam bentuk kesenjangan, atau kondisi belum (kurang) terpenuhinya sesuatu. Rumusan masalah pengembangan kadang kala tidak dinyatakan dalam ungkapan kalimat pertanyaan, namun dalam bentuk pernyataan yang mengandung masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011)
Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana, 2012)
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: CV. Alfabeta, 2010)
Abdul Muthalib, Metode Penelitian Pendidikan Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009)


[1] Punaji Setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 63
[2] Punaji,,hlm64
[3] Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: CV. Alfabeta, 2010), hal.52
[4] Ibid, hal.55
[5] Abdul Muthalib, Metode Penelitian Pendidikan Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), hal. 43
[6] Ibid, hal. 44
[7] http://lihatilmu.blogspot.com/2013/07/contoh-rumusan-masalah-penelitian-dan.html
[8] Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hal.111
[9] Punaji setyosari, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, (Jakarta:Kencana, 2013) hal .64
[10] Punaji, hal. 65