BAB
II PEMBAHASAN
A. Rasionalisme
Mu’tazilah
Mu’tazilah atau
disebut juga dengan “kaum rasionalis islam”, karena lebih banyak menggunakan
akal. Harun Nasution, menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan yang lebih dalam dan bersifat filosofis.
Ciri khas paling
khusus dari Mu’tazilah ialah mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip
ini mereka pergunakan untuk meghukum berbagai hal. Dengan prinsip ini mereka
berjalan begitu jauh. Mereka berpendapat bahwa alam punya hokum kokoh yang
tunduk kepada akal. Mereka merupakan kelompok yang paling mirip dengan
Descrates dari kalangan kaum rasionalis modern. Mereka tidak mengingkari naql (teks Al-Qur’an dan Hadis), tetapi
tanpa ragu-ragu mereka menundukkan naql
kepada hokum akal. Mereka menetapkan bahwa pikiran-pikiran (akal) adalah
sebelum sam’i. untuk itu mereka
menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat, menolak hadis-hadis yang tidak diakui oleh
akal. Secara global, mereka menghindari hadis ahad.
Aliran
Mu’tazilah juga menyucikan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini,
mereka sucikan baik ketika menghadapi pihak lawan-lawan maupun ke dalam, antar
sesame mereka sendiri. Untuk itu mereka berkepentingan mendengarkan
pandangan-pandangan yang paling aneh dan absurb seallipun, untuk dianalisa dan
dikonfirmasikan kesalahannya. Mereka memperluas ruang gerak kajian dikalangan
mereka sendiri. Tidak ada aliran teologi yang membiasakan kemerdekaan pendapat
seperti kaum Mu’tazilah. Pembiasaan kemerdekaan pendapat ini punya andil dalam
perpecahan yang terjadi di dalam barisan Mu’tazilah, sehingga anak-anak dari
satu keluarga saling menuduh kafir. Tuduhan inilah ayng begitu populer pada
banyak kelompok. Betapa anehnya kalau para pemikir merdeka itu mengharuskan
manusia membawa pedang untuk menumpas bsebagian pandangan mereka, khususnya
yang tidak ada hubungannya dengan inti akidah.
Pokok-Pokok
Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar
“Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum
ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du
Wal Wai`id, Amar Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika
telah menganut semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah.
Berikut
penjelasannya masing-masing yaitu :
1. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa
Al-Quran itu adalah makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi
sejumlah zat qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran
adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari sifat-sifat Allah
karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang qadim, itu sama
artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak sang pencipta.
Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah adalah
Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu Allah
adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka
mengingkari ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud
dengan nafs al sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham Wasil kepada
Tuhan diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin melekat pada
diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat pada dzat
itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim. Ini,
menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh bersifat
qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang bersifat qadim
maka mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian tauhid
atau keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam arti
diatas.
2. Al-Adl
Memiliki Arti “Pengingkaran terhadap
taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan
tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia
menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat
zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan versi mereka adalah menolak takdir karena
menetapkannya berarti Allah menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy
berkata: ” mengenahi Al `Adl mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir.
Mereka mengatakan Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan
adanya perbuatan jahat, karena jika Allah menciptakan kejahatan kemudian
menyiksa mereka atas kejahatan mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah
adil dan tidak zholim. Sebagai konsekuensinya mereka menyatakan dalam
(kekuasaan) kerajaan Allah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah
menginginkan sesuatu tetapi hal itu tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini
adalah karena ketidak mampuan mereka membedakan antara iradah kauniyah dengan
iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad dan
Ghailan. Tuhan kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat
jahat dan zhalim. Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang
mewujudkan perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak
patuhnya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh
balasannya. Dan untuk mewujudkan perbutan itu tuhan memberikan daya dan
kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan menurunkan perintah kepada manusia
untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak punya daya dan kekuatan untuk
berbuat.
3. Al- Wa`du Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya
dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan
menyelisih ancaman-Nya, sebab Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut
mereka Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak
mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas
bertentangan dengan Ahlus Sunnah Waljama`ah.
4. Al-Manzilah Baina Manzilatain
Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti
keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada
dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir,
sebagaimana disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min sebagaimana di
katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara mu’min dan
kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan nama pujian
yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya. Tetapi
predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di balik dosa
besar ia masih mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik. Orang
serupa ini jika mati belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya siksaan
yang di terima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.
5. Amar Ma`ruf Nahi Munkar
yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan
golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang
golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi
mungkar, mereka berkata: ” kita wajib menyuruh orang selain kita untuk
melaksanakan hal yang di perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan
apa yang wajib kita kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak
dengan senjata melawan penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat
dilihat juga dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada
empat hal yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu :
1.
Mengenai tentang mengetahui Tuhan.
2.
Kewajiban mengetahui Tuhan.
3.
Mengetahui baik dan jahat.
4.
Kewajiban mengatahui baik dan jahat.
Konsep
Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a. Ketauhidan
Mu’tazilah
menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang
azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
b. Dosa Besar
Orang
Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang
tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya
itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala
perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan
segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui
bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan
mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
B.
Kontekstualisme
Asy’ariyah
Mazhab
Asy’ariyah bertumpu pada Al-Qur’an dan al-sunnah. Karena As’ari bertumpu pada
teks Al-Qur’an dan Hadis ini maka Asy’ariah adalah golongan yang
kontekstualisme. Asy’ari mengatakan :”pendapat yang kami ketengahkan dan akidah
yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh kepada kitab Allah, Sunnah
Nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan Imam-imam
Hadis. Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal padahal Allah menganjurkan agar
umat islam melakukan kajian rasional.
Pada
prinsipnya, kaum Asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal
seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan
menempatkan akal di atas naql (teks-teks agama). Bahkan sebaliknya, mereka
secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka anggap
sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Dengan akal kita
akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.
Ajran-ajaranAsy’ariah antara lain:
1.
sifat Tuhan
karena kontar dengan mu’tazilah,
al-asyari membawa paham tuhan mempunyai sifat. menurutnya, mustahil Tuhan
mengetahui dengan dzat-Nya, karena ini akan membawa kesimpulan bahwa dzat Tuhan
itu pengetahuan-Nya, dan dengan demikian tuhan sendiri menjadi pengetahuan.
padahal, Tuahan Bukan pengetahuan (‘Ilm) tetapi yang maha mengetahui (‘alim).
Tuhan mengetahui dengan pengetahuan, dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya.
demikian dengan sifat-sifat Tuhan lainnya, seperti hidup, berkuasa, mendengar,
melihat dsb
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan
(Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dll), sesuai dengan czat Tuhan
itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sufat – sifat makhluk. Tuhan dapat
mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan seterusnya
2. Dalil Adanya Tuhan
Menurut mu’tazilah, alasan
manusia harus percaya kepada Tuhan karena akal manusia sendiri yang
menyimpulkan bahwa tuhan itu ada. sedangkan menurut asy’ariyah, manusia wajib
meyakini Tuhan karena Nabi muhammad mengajarkannya bahwa tuhan itu ada
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. jadi, manusia wajib percaya
terhadap adanya tuahan karena diperintahkan Tuhan dan perintah ini ditangkap
akal. disini Al-Qur’an menjadi sumber pengetahuan dan akal sebagai
instrumennya.
3. kekuasaan
Tuhan dan perbuatan manusia
Dalam masalah ini asy’ariyah
mengambil posisi tengah antara pendapat jabariah dan mu’tazilah. menurut
jabariyah, manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, sedangkan
menurut mu’tazilah manusia itulah yang mewujudkan perbuatan dengan daya yang
diberiakn tuhan kepadanya. sebagai jalan kelauar dari dua pendapat yang
bertentangan itu, asy’ariyah mengambil faham kasab sebagai jalan tengahnya,
yang sulit dimenegrti kecuali bila paham kasab itu dipandang, sebagai usaha
untuk menjauhi jabariah dan qodariah. namun setelah melalui jalan yang
berbelit-belit akhirnya asy’ariyah menjatuhkan pilihannya kepada paham
jabariyah.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa
manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh
sesuatu perbuatan
4. melihat
Tuhan di akhirat
Menurut asyariyah, Tuhan dapat
dilihat diakhirat. alasanya sifat-sifat yang tidak dapat diberikan Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada pengertian diciptakannya Tuhan.
sifat dapat dilihatnya tuhan diakhirat tidak membawa kepada pengertian
diciptakannya tuhan, karena apa yang dilihat tidakj mesti mengandung pengertian
bahwa ia mesti diciptakan. dengan demikian jika dikatakan bahwa tuahn dapat
dilihat, itu tidak mesti bahwa tuhan harus bersifat diciptakan.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah
tertentu. Al-Maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan .
Firman Allah dalam QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23:
Artinya :
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri.
23. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat. (QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23)
5. kedudukan
Al-Qur’an
Berbeda dengan pendapat mu’tazilah yang
mengatakan al-Qur’an itu diciptakan, asy’ariyah justru berpendapat bahwa
al-Qur’an, sebagai manifestasi kalam Allah yang qadim, tidak diciptakan.
menurut asy’ariyah jika al-qur’an diciptakan diperlukan kata kun, dan untuk
terciptanya kun yang lain, dan seterusnya hingga tidak ada habis-habisnya dengan
demikian al-qur’an tidak mungkin diciptakan (baru). yang baru itu al-Qur’an
berupa huruf dan suara sebagaimana yang ditulis dalam mushaf.
. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang
dahulunya tidak ada.
6. Tentang
Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin
yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya.
Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua
tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang
mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan
diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena
kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga
7. Tetang
Rupa Tuhan
Keduanya
sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang
bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan
tidak diartikan secara harfiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, Jakarta :UI Press. 2002
Abdurrazak, Ilmu Kalam, Jakarta:
Bulan Bintang, 2004
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Jakarta
: Pustaka Setia, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar