Jumat, 02 Januari 2015

sejarah definisi teknologi pendidikan oleh AECT



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi yang Dibuat Pada 1963
AECT (Association for Educational Communications and Technology = Asosiasi Komunikasi dan Teknologi Pendidikan) mengemukakan bahwa audiovisual communications (komunikasi audiovisual) pada 1963 merupakan definisi formal pertama mengenai teknologi pendidikan, yang dikembangkan oleh Commission on Definition and Terminology (komisi definisi dan terminologi) DAVI (Department of Audiovisual Instruction = Departemen Instruksi Audiovisual) dari NEA (National Education Association = Asosiasi Pendidikan Nasional) dan didukung oleh TDP (Technological Development Project = Proyek Pengembangan Teknologi). Pada 1963, audiovisual communication merupakan definisi yang digunakan untuk menjelaskan tentang teknologi pendidikan yang berevolusi dari gerakan pendidikan audiovisual menjadi teknologi pendidikan:
“Audiovisual communication adalah cabang teori dan praktik pendidikan yang berkaitan dengan rancangan dan penggunaan instruksi pengajaran yang mengontrol proses pembelajaran. Yang termasuk dalam audiovisual communication itu adalah: (a) studi tentang kelebihan dan kekurangan instruksi yang digunakan dalam proses pembelajaran; dan (b) strukturisasi dan sistematisasi instruksi oleh manusia dan instrument dalam pendidikan. Hal ini melibatkan perencanaan, produksi, seleksi, manajemen dan penggunaan sistem dan komponen instruksi pengajaran.”
Tujuan praktisnya adalah penggunaan yang efisien terhadap metode dan media komunikasi yang berkontribusi terhadap perkembangan potensi siswa. (Ely, 1963, hal. 18 – 19).
1.      Perubahan Konsep Dalam Definisi Mengenai Teknologi Pendidikan
Sebagai sebuah teori, ada tiga perubahan konsep dalam definisi teknologi pendidikan ini, yaitu (1) penggunaan konsep proses bukan product; (2) penggunaan istilah messages dan media instrumentation bukan material atau machines; dan (3) pengantar elemen teori pembelajaran dan teori komunikasi (Ely, 1963, hal. 19). Ketiga konsep ini sangat penting bagi kita agar bisa memahami gagasan mengenai teknologi pendidikan pada 1963.
Konsep teknologis bidang audiovisual sangat menekankan pada proses, sehingga konsep produk bidang teknologi pendidikan yang tradisional tidak bisa dipertahankan lagi. Komisi Definisi dan Terminologi yang ada dalam DAVI itu percaya bahwa “konsep produk tradisional dalam bidang audiovisual melihat “sesuatu” dalam bidang tekpen ini melalui mesin pengenal, penggunaan istilah – istilah tertentu dan karakteristik material melalui tingkat keabstrakan atau kekonkritannya” (Ely, 1963, hal. 19). Anggota komisi tersebut meyukai konsep proses yang terdiri atas perencanan, produksi, seleksi, manajemen dan penggunaan komponen dan sistem instruksional (hal. 19). Konsep proses ini juga menganggap hubungan antar berbagai peristiwa sebagai sesuatu yang dinamis dan berkelanjutan (hal. 19).
Komisi tersebut menandakan bahwa material (materi) dan machine (mesin) merupakan barang – barang produk dan disarankan untuk tidak digunakan dalam definisi tekpen ini. Bahkan Komisi tersebut menggunakan istilah messages (pesan) dan instruments (alat). Lebih lanjut Komisi tersebut beranggapan kalau material dan machine itu merupakan elemen – elemen yang saling bergantung satu sama lainnya. “Sebuah motion-picture (gambar hidup/film) dan proyektor itu tidak bisa dipisahkan sama halnya seperti material dan machine” (Ely, 1963, hal. 19). Dalam penggunaanya itu, elemen yang ini membutuhkan elemen lainnya.
Komisi tersebut menggunakan media instrumentation untuk menjelaskan tentang instruments. Ditandaskan oleh Komisi tersebut,”Media-instrumentation mengindikasikan sistem transmisi, material dan device (dalam bahasa Indonesia, baik instrument maupun device diartikan sebagai alat) yang digunakan untuk membawa messages (pesan) tertentu” (Ely, 1963, hal. 20). Orang yang menggunakan instrument dalam lingkungan pendidikan juga termasuk dalam konsep media-instrumentation ini. Hal ini didasarkan pada konsep yang lebih luas mengenai sistem man-machine (manusia mesin) (Finn, 1957).
Dalam membahas hubungan dan integrasi teori pembelajaran dengan teori komunikasi terhadap teknologi instruksional, Komisi tersebut mengatakan,”Elemen dalam teori pembelajaran dan teori komunikasi dapat memberikan kontribusi terhadap bidang Teknologi Pendidikan baik sebagai sumber, pesan, channel (saluran), receiver (penerima), efek, stimulus, organisme, respon” (Ely, 1963, hal. 20). Komisi tersebut mengintegrasikan teori pembelajaran dengan teori komunikasi melalui indentifikasi dan kombinasi dua basis sistem yaitu sistem learning-communicant dan sistem educational-communicant. Kedua sistem ini menggunakan konsep dari teori pembelajaran dan teori komunikasi yang membahas tentang peran tiap individu. Yang dimaksud dengan sistem learning-communicant adalah “populasi siswa” sementara sistem educational-communicant adalah “para professional di sekolah” (hal. 23). Kedua sistem ini bisa dalam berbagai cakupan, mulai dari ruang kelas yang kecil sampai sistem persekolahan yang lebih besar (Ely, 1963). Jika kedua sistem ini digabung menjadi sebuah model proses pendidikan, maka hal tersebut akan memberikan kerangka dasar teoritis bagi bidang komunikasi audiovisual (Ely, 1963).
Hal penting yang dihasilkan dari definisi pertama mengenai komunikasi audivosual itu adalah “cabang dari teori dan praktik pendidikan.” Kata teori sangat penting dalam definisi tersebut karena: (a) memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bidang audiovisual, (b) statusnya dalam bidang pendidikan, dan (c) dibutuhkannya riset lanjutan mengenai evolusi dari teori pendidikan tersebut.
2.      Ciri dari Sebuah Profesi Menurut Finn
Definisi pada 1963 tersebut dipengaruhi oleh James Finn (1953) yang menjelaskan tentang enam ciri dari sebuah profesi: yaitu (a) teknik intelektual, (b) aplikasi teknik tersebut ke dalam praktiknya, (c) periode yang dibutuhkan untuk melalukan pelatihan sebelum memasuki profesi itu, (d) asosiasi keanggotaan profesi, (e) pernyataan tentang kode etik, dan (f) sejumlah teori intelektual yang dikembangkan dalam penelitian. (hal. 7)
Dari enam ciri tersebut, Finn (1953) berpendapat bahwa “ciri paling penting dari sebuah profesi itu adalah skill yang digunakan itu berasal dari teori dan riset intelektual” (hal. 8). Setelah menandaskan tentang pentingnya teori dan riset untuk sebuah profesi, Finn lalu mengatakan bahwa,”teori sistematik ini dikembangkan secara terus menerus oleh riset dan pemikiran dalam profesi” (hal. 8). Finn berpendapat bahwa sebuah profesi itu membutuhkan pengembangan riset dan teori untuk melengkapi riset dan teori sebelumnya. Jika teknologi pendidikan merupakan sebuah profesi, maka kita harus mengadakan dan mengembangkan riset serta teori yang terkait dengan hal tersebut; tidak hanya sekedar meminjamnya dari ilmu lain, misalnya psikologi.
Finn (1953) menguji bidang audiovisual dengan enam karakteristik di atas tadi dan mengatakan bahwa bidang audiovisual itu tidak memiliki ciri yang paling fundamental: yaitu sekumpulan teori dan riset intelektual. “Ketika audiovisual diukur melalui enam karakteristik yang tadi bisa disimpulkan kalau bidang audiovisual itu belum mendapatkan status professional” (Finn, 1953, hal. 13). Argumen ini diterima secara luas dan memiliki implikasi terhadap bidang audiovisual pada akhir 1950an dan awal 1960an.
3.      Munculnya Pandangan Mengenai Proses
Di antara faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan pandangan mengenai proses teknologi pendidikan adalah dua anggapan yang sangat berpengaruh di bidang audiovisual, yaitu: (1) bahwa teknologi itu merupakan sebuah proses (Finn, 1960b), dan (2) bahwa komunikasi itu merupakan sebuah proses (Berlo, 1960; Gerbner, 1956). Sebagai suatu cara berpikir, pandangan konseptual mengenai teknologi pendidikan itu bermula dari definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963 itu.
Tujuan Komisi DAVI untuk membuat definisi resmi yang pertama itu adalah “untuk memperjelas bidang teknologi instruksi yang terdiri atas berbagai aspek bidang audiovisual” (Ely, 1963, hal. 3). Tidak disangka – sangka, definisi pada 1963 itu mendapatkan banyak kritikan pada saat diterapkan di bidang komunikasi audiovisual pada 1960an dan 1970an.

4.      Kritikan Terhadap Definisi Teknologi Pendidikan yang Dibuat pada 1963
Seperti telah disinggung dalam pengantar di atas, tidak ada definisi yang mutlak, sehingga terjadilah kritikan terhadap definisi mengenai teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963 itu. James Knowlton (1964), seorang anggota fakultas di Indiana University, merupakan konsultan bagi Komisi Definisi dan Terminologi pada 1963. Dalam sebuah essay yang membahas tentang definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963 itu, beliau mengemukakan bahwa definisi tersebut “disusun menurut istilah semiotik” (hal. 4) namun struktur konseptualnya “disusun menurut istilah teori pembelajaran dan ini menimbulkan keganjilan” (ha. 4). Argumen yang dipaparkan oleh Knowlton itu didasarkan atas pentingnya konsistensi semantik dan konseptual dalam definisi tersebut. Knowlton mengatakan bahwa kegagalan menggabungkan bahasa definisi dengan bahasa struktur konseptual mengakibatkan ketidakjelasan konsep baru ini. Hal ini pada gilirannya akan menimbulkan kebingungan dalam mengarahkan riset dan praktik di bidang teknologi pendidikan.
Kurang dari satu dekade lalu, Robert Heinich (1970) melihat pentingnya redefinisi bidang teknologi pendidikan yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, beliau mengkritisi bahasa berbasis komunikasi yang digunakan dalam definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963. Menurut beliau, bahasa definisi tersebut terlalu sulit untuk ditafsirkan dan diterapkan oleh lembaga sekolah. Kedua, beliau beranggapan bahwa kekuasaan untuk membuat keputusan terkait dengan penggunaan teknologi pendidikan di sekolah harus bisa ditransfer dari guru kepada para perencana kurikulum. Alasan Heinich untuk mengubah definisi tersebut didasarkan pada perubahan evolusioner dan masalah linguistik yang berkaitan dengan fungsi praktisi di bidang teknologi pendidikan ini. Yang diusulkan oleh Heinich adalah sebuah pendekatan terhadap persekolahan di mana para spesialis bisa mengambil keputusan tentang kapan dan di mana teknologi itu bisa digunakan oleh sekolah. Hal ini berbeda dengan apa yang dibahas dalam pembentukan definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963 itu. Dalam pembuatan definisi tersebut, tinimbang sebagai bawahan, guru lebih dianggap sebagai rekan para ahli teknologi pendidikan (Januszewski, 2001).
5.      Kekuatan yang Mendorong Terciptanya Definisi Baru
Isu lain pun mulai mempengaruhi bidang teknologi pendidikan ini. Laporan dari Presidential Commission on Instructional Technology (Komisi Presidensil dalam Teknologi Pendidikan) menyatakan bahwa teknologi pendidikan bisa didefinisikan dalam dua cara:
“Teknologi pendidikan merupakan media yang lahir dari revolusi komunikasi yang dapat digunakan untuk tujuan instruksional di samping penggunaan buku teks dan papan tulis. Secara umum, Komisi tersebut menjelaskan tentang penggunaan alat teknologi tersebut. Komisi tersebut berupaya menggunakan berbagai alat untuk teknologi pendidikan ini: televisi, film, overhead projector, computer dan software serta hardware lainnya.” (hal. 19)
Definisi kedua menyatakan…
“Teknologi instruksionan merupakan cara sistematik dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar mengajar dalam hal objektif, didasarkan atas riset mengenai komunikasi dan pembelajaran siswa serta menggunakan kombinasi sumber yang bersifat manusiawi dan non-manusiawi agar instruksi pengajaran menjadi lebih efektif.” (Komisi dalam Teknologi Pendidikan, 1970, hal. 19)
Para professional di bidang teknologi pendidikan merespon laporan ini dalam sebuah rubrik di Audiovisual Communication Review (1970). Ulasan para professional tersebut mengenai laporan pemerintah itu kemudian digabungkan. Ely (Ely et al., 1970) dari Syracuse University berpendapat bahwa semua upaya dari Komisi Teknologi Pendidikan itu patut dihargai. Earl Funderburk (Ely et al., 1970) dari NEA mengusulkan tentang sebuah program yang lebih seimbang. Namun David Engler (Ely et al., 1970) dari perusahaan McGraw-Hill Book Company tidak menyetujui upaya Komisi Teknologi Pendidikan dalam mengubah definisi teknologi pendidikan berbasiskan proses yang dihubungkan dengan manfaat teknologi tersebut di masa depan. Leslie Briggs (Ely et al., 1970) dari Florida State University menuduh Komisi Presidensil telah menyediakan “gambar dua arah” teknologi pendidikan dengan menekankan pada hardware dan orientasi proses konsep tersebut.
Kontributor Audiovisual Communications Review (1970) merasa tidak puas dengan “gambar dua arah” ini karena akan menimbulkan kebingungan di kalangan pengguna teknologi pendidikan. Para kontributor tersebut orientasi hardware yang diminati oleh Komisi Presidensil itu merupakan suatu kemunduran bagi profesi teknologi pendidikan.
B.     Definisi Teknologi Pendidikan yang Dibuat pada 1972
Pada 1972, melalui evolusi dan kesepakatan bersama, DAVI berubah menjadi AECT. Perubahan nama organisasi ini berimplikasi pada perubahan definisi mengenai teknologi pendidikan. AECT mendefinisikan teknologi pendidikan sebagai berikut:
“Teknologi pendidikan itu merupakan suatu bidang yang digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran melalui identifikasi, pengembangan, organisasi dan penggunaan semua sumber pelajaran secara sistematik serta melalui manajemen proses – proses ini.” (Ely, 1972, hal. 36)
Sebagai anggota dari kelompok yang membuat definisi mengenai teknologi pendidikan, Kenneth Silber (1972) berhasil menyertakan peran dan fungsi para praktisi teknologi pendidikan sebagai bagian dari perubahan definisi mengenai teknologi pendidikan itu sendiri. Silber memperkenalkan istilah learning system (sistem pembelajaran) yang menggabungkan ide tentang ruang belajar terbuka dengan beberapa konsep teknologi pendidikan. Sama seperti perspektif Heinich (1970), learning systemnya Silber (1972) menghendaki adanya perubahan peran guru dan ahli teknologi pendidikan. Tidak seperti Heinich, Silber mendukung sebuah gagasan yang mengatakan bahwa siswa harus membuat keputusan terkait dengan penggunaan teknologi pendidikan itu sendiri. Para ahli teknologi akan membuat berbagai program dan rancangan yang bisa digunakan oleh siswa agar mereka bisa menemukan “arah pembelajaran yang sesungguhnya” (hal. 21). Menurut Silber bahwa guru itu harus menjadi fasilitator bagi pembelajaran siswa bukan hanya sekedar “penyampai informasi.”
1.      Definisi yang Didasarkan Atas Tiga Konsep
Ada tiga konsep utama yang mendasari definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1972, yaitu: berbagai sumber pembelajaran, individualisasi dan personalisasi pembelajaran serta pendekatan sistem. Ketiga konsep inilah yang menciptakan keunikan dari bidang teknologi pendidikan ini (Ely, 1972, hal. 37). Memahami ketiga konsep ini disertai dengan ide tentang teknologi pendidikan sebagai suatu bidang sangatlah penting dalam memahami definisi teknologi pendidikan yang dibuat oleh AECT pada 1972.
Penting untuk diketahui kalau beragam penafsiran mengenai ketiga konsep ini juga menimbulkan keberagaman penafsiran mengenai bidang teknologi pendidikan. Hal ini dikarenakan oleh tujuan dan falsafah pendidikan yang berbeda – beda pula.
Para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1972 sebetulnya sudah menyadari kalau konsep tersebut bakal menimbulkan penafsiran yang berbeda – beda dan mereka tampaknya tertarik pula pada perbedaan latar belakang akademik serta falsafah pendidikan yang dimiliki oleh setiap orang. Sementara para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1963 tampaknya tidak mempertimbangkan hal – hal tersebut. Hal ini dapat terjadi karena para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1972 sangat memperhatikan falsafah pendidikan. Sementara para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1963 justru menganggap teknologi pendidikan sebagai teori dan falsafah pendidikan itu sendiri. Terlepas dari itu semua, tidak diragukan lagi bahwa pada 1972, para pembuat definisi teknologi pendidikan berpendapat bahwa Teknologi Pendidikan itu merupakan suatu bidang studi dan bukan merupakan suatu teori yang spesifik (Januszewski, 1995, 2001).
2.      Teknologi Pendidikan Sebagai Sebuah Bidang Studi
Ada anggapan yang mengatakan kalau Teknologi Pendidikan itu merupakan suatu bidang studi. Hal ini telah menimbulkan implikasi terhadap empat hal, yaitu (1) kita mengakui bahwa teori tentang teknologi pendidikan itu banyak; tidak hanya sekedar perannya; (2) perubahan definisi teknologi pendidikan telah menimbulkan pembahasan mengenai falsafah pendidikan; (3) penggunaan kata field (bidang studi) menggambarkan orientasi teknologi pendidikan terhadap hardware dan proses seperti yang dijelaskan oleh Komisi Presidensil (1970); dan (4) definisi ini didasarkan pada tangible elements (elemen – elemen yang nyata) (Ely, 1972). Definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1972 tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan mengenai peran dan fungsinya ketimbang sebuah konsep abstrak; sama halnya dengan definisi pada 1963 yang menganggap teknologi pendidikan sebagai sebuah teori.
3.      Kritikan Terhadap Definisi Teknologi Pendidikan yang Dibuat Pada 1972
Definisi ini tidak banyak mendapat kritikan; tidak seperti definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963; mungkin karena definisi pada 1963 dianggap sebagai definisi sementara (Ely, 1994). Hanya ada satu artikel yang muncul dalam literatur mengenai bidang teknologi pendidikan – sebuah kritik yang ditulis oleh Dennis Myers, seorang lulusan Syracuse University, Lida Cochran, seorang anggota fakultas di University of Iowa (Myers dan Cochran, 1973).
Analisa singkat oleh Myers dan Cochran (1973) menjelaskan setidaknya tentang lima hal. Pertama, mereka menjelaskan kalau pembuatan definisi teknologi pendidikan itu harus menyatakan kalau siswa memiliki hak untuk meng-akses sistem pengiriman teknologi sebagai bagian dari instruksi regular. Hoban (1968) juga menyatakan hal serupa tentang nilai kepantasan teknologi yang digunakan untuk proses instruksi. Kedua, Myers dan Cochran mengatakan bahwa definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1972 tersebut kurang mengindahkan dasar teoritis. Kritikan ini mendukung pernyataan dari Heinich (1970) yang mengatakan kalau definisi tersebut kurang memiliki landasan teoritis.
Ketiga, Myers dan Cochran (19730 mengkritisi peran para ahli teknologi pendidikan yang sangat terbatas. Keempat, Myers dan Cochran membahas tentang kurangnya istilah – istilah yang digunakan untuk membahas peran dalam teknologi pendidikan.
Mungkin hal paling menarik dari analisa ini adalah hubungan antara teknologi pendidikan dengan bidang pendidikan lainnya. Dalam membahas tentang kendala yang terjadi dalam proses pembuatan definisi teknologi pendidikan melalui fungsinya, Myers dan Cochran (1973) menekankan pada pentingnya tujuan pendidikan.
“Yang penting adalah bahwa fungsi – fungsi tertentu telah dilakukan dalam pendidikan. Generalisasi ini sangatlah penting karena menggambarkan sebuah sikap yang mencerminkan minat kalangan professional dan menekankan akan pentingnya komunitas serta kerjasama, hal yang sangat diperlukan dalam menanggulangi masalah yang terjadi di masyarakat dan bidang pendidikan.” (hal. 13)
Di sini, Myers dan Cochran (1973) tampaknya mengkritisi para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1972 yang terlalu memperhatikan wilayah intelektual dan peran yang ditampilkan di bidang tenologi pendidikan. Kritikan ini kehilangan pengaruhnya ketika ditinjau dari segi “ketidakpatutan” peran yang harus dilakukan oleh para ahli teknologi pendidikan (Januszewski, 2001).
Ringkasnya, Pada 1972, nama dari konsep ini berubah; yang tadinya bernama komunikasi audiovisual menjadi teknologi pendidikan. Nama organisasi yang menaungi bidang teknologi pendidikan pun ikut berubah; dari DAVI menjadi AECT. Sembilan tahun setelah definisi pertama teknologi pendidikan itu ditetapkan, telah terjadi banyak perubahan di lembaga – lembaga sekolah Amerika baik dalam hal hardware atau inovasi teknologis lainnya. Pada saat ini, Teknologi Pendidikan merupakan suatu bidang studi, terbuka bagi berbagai penafsiran oleh kalangan yang menjadi praktisi di bidang tersebut. Definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1972 menggambarkan penafsiran tersebut namun ditujukan hanya untuk sementara saja. Begitu sebuah definsi telah dipublikasikan, maka definisi selanjutnya siap untuk dikerjakan lagi.
C.    Definisi Teknologi Pendidikan yang Dibuat pada 1977
Pada 1977, AECT merevisi definisi Teknologi Pendidikan dengan versi yang ketiga, yaitu:
“Teknologi Pendidikan merupakan integrasi proses yang kompleks; melibatkan manusia, prosedur, gagasan, device (alat) dan organisasi, bertujuan untuk menganalisa masalah serta mengimplementasikan, mengevaluasi dan mengatur solusi terhadap masalah – masalah tersebut, yang dilibatkan dalam seluruh aspek pembelajaran manusia. Dalam teknologi pendidikan, solusi yang dipakai itu berasal dari semua learning resources (sumber pembelajaran) yang dirancang/dipilih/digunakan untuk menciptakan pembelajaran; sumber – sumber ini diidentifikasi sebagai Messages (pesan), manusia, Material, Device (alat), Technique (teknik) dan Setting (pengaturan). Proses analisa masalah dan implementasi serta evaluasi solusi diidentifikasi melalui Teori, Rancangan, Produksi, Seleksi Evaluasi, Logistik, dan Penggunaan the Educational Development Functions of Research (Fungsi Riset Pengembangan Pendidikan). Proses pengarahan atau koordinasi fungsi tersebut diidentifikasi oleh the Educational Management Functions (Fungsi Manajemen Pendidikan) dari Organizational Management and Personnel Management (Manajemen Personal dan Manajemen Organisasional).” (AECT, 1977. hal. 1)
1.      Teknologi Pendidikan Kontra Teknologi Instruksional
Perbedaan konsep antara istilah educational technology (teknologi pendidikan) dengan instructional technology (teknologi instruksional) merupakan bagian dari analisa buku ini. Agar kita mampu memahami definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 beserta kerangka teoritisnya, maka kita harus memahami pula pandangan para pembuat definisi tersebut mengenai hubungan antara teknologi instruksional dengan teknologi pendidikan. Dasar premis untuk perbedaan ini adalah bahwa teknologi instruksional itu merupakan bagian dari teknologi pendidikan sama halnya dengan bahwa instruksi pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Alasannya adalah karena instruksi merupakan bagian dari pendidikan, maka teknologi instruksi pun merupakan bagian dari teknologi pendidikan (AECT, 1977). Contohnya, konsep teknologi pendidikan dilibatkan dalam solusi masalah “semua aspek pembelajaran manusia” (hal. 1). Konsep teknologi pendidikan dilibatkan dalam solusi masalah di mana “pembelajaran itu bersifat purposif (penuh tujuan) dan dikontrol” (hal. 3).
2.      Teknologi Pendidikan Sebagai Sebuah Proses
Ada dua hal lain yang muncul dari definisi teknologi yang dibuat pada 1977 tersebut dan keduanya saling berhubungan. Pertama, definisi tersebut juga dianggap sebagai sebuah “proses” (AECT, 1977, hal. 1). Kata proses ini dimaksudkan untuk mengkonotasikan gagasan bahwa teknologi pendidikan itu dapat dianggap sebagai sebuah teori, bidang, atau profesi. Kedua, konsep sistemmya disertakan juga ke dalam definisi tersebut dan konsep pendukungnya baik dalam hal deskriptif maupun preskriptifnya. Oleh para pembuat definisi ini, kedua hal tersebut dianggap saling berhubungan dengan mengatakan bahwa penggunaan konsep sistem itu merupakan sebuah proses (AECT, 1977).
Sebagai salah satu dari tiga konsep pendukung definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 tersebut, pendekatan sistem ini telah menjadi dasar bagi definisi itu sendiri. Untuk memperkuat konsepnya itu, para pemimpin di bidang teknologi pendidikan berasumsi bahwa konsep pendukung definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 tersebut sangat berhubungan dengan pendekatan sistem.
Ketiga konsep pendukung definisi ini adalah sumber, manajemen dan pengembangan pembelajaran. Sumber pembelajaran merupakan sumber yang digunakan dalam sistem pendidikan; penggunaan konsep sistem secara deskriptif oleh para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1977 ini disebut resource by utilization (penggunaan sumber). Sumber ini dirancang untuk tujuan instruksional; penggunaan pendekatan sistem secara preskriptif disebut resource by design (rancangan sumber) atau instructional system components (komponen sistem instruksional) (AECT, 1977).
Sama seperti konsep sumber pembelajaran, manajemen pembelajaran dapat digunakan secara deskriptif untuk menjelaskan tentang sistem administratif atau tindakan secara preskriptif. Konsep manajemen pembelajaran sering digunakan sebagai metafora bagi pendekatan sistem dalam pendidikan (Heinich, 1970). Istilah instructional development sering digunakan untuk menjelaskan tentang system approach to instructional development (pendekatan sistem terhadap pengembangan instruksional) atau instructional system development (pengembangan sistem instruksional) (Twelker et al., 1972). Pendekatan sistem terhadap instruksi ini melibatkan proses pengembangan instruksi dan model pengembangan instruksi melibatkan manajemen pembelajaran sebagai suatu tugas yang harus diselesaikan dalam pendekatan sistem terhadap pengembangan instruksional yang pada gilirannya menggabungkan konsep sistem dengan pandangan teknologi pendidikan mengenai proses. Interpretasi deskriptif dan preskriptif mengenai definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 ini kelak akan mempengaruhi definisi teknologi pendidikan di masa depan.
Para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1977, yang menggunakan istilah proses untuk mengembangkan skema kongruen dan sistematik untuk konsep teknologi pendidikan, mengatakan bahwa:
“Definisi ini menjelaskan tentang teori, bidang dan profesi sebagai sesuatu hal yang saling berhubungan. Ini dikarenakan bahwa definisi bidang teknologi pendidikan berasal dari dan termasuk dalam teori teknologi pendidikan; dan profesi teknologi pendidikan berasal dari dan termasuk dalam bidang teknologi pendidikan.” (AECT, 1977, hal. 135)
Pada akhirnya, upaya untuk menunjukkan keterkaitan di antara konsep utama tersebut menimbulkan berbagai isu. Ada lima manfaat dari penjelasan mengenai teknologi pendidikan sebagai sebuah proses, yaitu (1) istilah proses ini memperkuat pandangan proses teknologi pendidikan terhadap pandangan produk teknologi pendidikan. (2) istilah proses merupakan landasan definisi teknologi pendidikan untuk aktifitas para praktisi, aktifitas yang bisa diawasi dan diverifikasi secara langsung. (3) istilah proses ini bisa digunakan untuk menjelaskan teknologi pendidikan sebagai sebuah teori, bidang atau profesi. (4) istilah proses ini memungkinkan adanya evolusi pemikiran dan riset di sekitar konsep sistem teknologi pendidikan. (5) proses yang menggunakan riset dan teori memperkuat bukti kalau teknologi pendidikan itu merupakan sebuah profesi.
3.      Teknologi Pendidikan Sebagai Bidang, Teori dan Profesi
Para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1977 mengatakan bahwa teknologi pendidikan bisa dijelaskan dalam 3 cara yang berbeda – yaitu sebagai sebuah konstruksi teoritis, bidang ataupun profesi (AECT, 1977, hal. 17). Mereka melanjutkan,”semuanya (ketiganya) saling melengkapi, tidak ada yang lebih baik atau lebih jelek. Ketiganya merupakan cara berpikir yang berbeda mengenai suatu hal yang sama (hal. 18). Para pembuat definisi teknologi pendidikan pada 1977 ini mengatakan bahwa konstruksi teoritis, bidang dan profesi semuanya itu didasarkan atas proses. Istilah proses menjelaskan dan menghubungkan ketiga perspektif mengenai teknologi pendidikan ini.
Teknologi pendidikan dianggap sebagai sebuah teori dalam definisi yang dibuat pada 1963 (Ely, 1963), disebut sebagai sebuah bidang dalam definisi yang dibuat pada 1972 (Ely, 1972). Sementara dalam definisi yang dibuat pada 1977, teknologi pendidikan juga dianggap sebagai sebuah profesi. Sebelum definisi teknologi pendidikan pada 1977 ini dipublikasikan, istilah profesi telah digunakan untuk hal – hal yang berhubungan dengan teknologi pendidikan. Semenjak Finn (1953) mengatakan bahwa bidang teknologi pendidikan ini belum mencapai status sebagai sebuah profesi, pihak yang bergelut dalam teknologi pendidikan (seperti Silber, 1970) secara sistematik telah melakukan berbagai upaya untuk menganalisa teknologi pendidikan sebagai sebuah profesi. Dengan menggunakan kriteria Finn, para pembuat definisi pada 1977 mengatakan bahwa teknologi pendidikan merupakan sebuah profesi baru.
Dengan berdasarkan pada interpretasi dan aplikasi konsep sistem, teknologi pendidikan dapat dijelaskan sebagai sebuah teori, bidang ataupun profesi menurut definisi yang dibuat pada 1977 tersebut. Penggunaan istilah proses yang menjelaskan bahwa teknologi pendidikan itu merupakan teori, bidang maupun profesi telah berimplikasi pada perbedaan interpretasi mengenai pendekatan sistem.
D.    Definisi Teknologi Pendidikan yang Dibuat pada 1994
Pada 1994, definisi teknologi pendidikan hampir telah mencakup semuanya. Definisi ini mengatakan,”Teknologi Pendidikan merupakan teori dan praktik rancangan, pengembangan, penggunaan, manajemen dan evaluasi proses serta sumber untuk pembelajaran” (Seels & Richey, 1994, hal. 1).
Upaya para pembuat definisi 1977 untuk memperlihatkan kesetaraan hubungan antara teknologi pendidikan dengan teknologi instruksional ternyata menimbulkan problem konseptual bagi bidang teknologi pendidikan. Definisi teknologi pendidikan, yang berkaitan dengan “seluruh aspek pembelajaran manusia” (AECT, 1977, hal. 1), merupakan definisi yang terlalu luas sehingga kalangan di bidang teknologi pendidikan pun berkesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara teknologi pendidikan dengan kurikulum, administrasi sekolah ataupun metode pengajaran (Ely, 1982). Saettler (1990) mengatakan bahwa definisi tersebut terlalu luas bagi setiap orang, namun beliau ragu kalau definisi 1977 tersebut telah mencakup berbagai hal.
1.      Problem Logis
Landasan teoritis definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977, juga menimbulkan berbagai masalah lain. Dengan membedakan antara pendidikan dengan instruksi, pembuat definisi 1977 tersebut mengatakan bahwa,”Pendidikan kemudian terdiri atas 2 kelas proses yang tidak ada instruksi: yaitu proses yang berhubungan dengan administrasi instruksi..dan proses yang berhubungan dengan situasi di mana manajemen pembelajaran terjadi secara tidak disengaja” (AECT, 1977, hal. 56). Contoh manajemen pembelajaran yang terjadi secara tidak disengaja dijelaskan dalam istilah incidental learning (hal. 56). Masuk akal juga jika manajemen pembelajaran yang terjadi secara tidak disengaja ini kemudian dianggap sebagai bagian dari konsep pendidikan (Januszewski, 1997).
Namun, definisi technology (teknologi) oleh Galbraith (1967), Hoban (1962) dan Finn (1960a, 1965), yang digunakan oleh para pembuat definisi 1977 untuk menjelaskan istilah teknologi yang berkaitan dengan konsep teknologi pendidikan, juga bermakna untuk menjelaskan istilah teknologi yang berkaitan dengan konsep teknologi pendidikan, juga bermakna gagasan tentang organisasi, manajemen dan kontrol (AECT, 1977). Para pembuat definisi 1977 tersebut beranggapan bahwa organisasi, manajemen dan kontrol sebagai ciri dari teknologi; namun gagasan ini berkontradiksi dengan gagasan mengenai incidental learning dan manajamen pembelajaran yang terjadi secara tidak disengaja. Pendidikan dalam definisi 1977 tampaknya belum bisa dipadukan dengan bidang teknologi. Kita tidak percaya kalau teknologi itu merupakan suatu kebetulan, tidak di-menejmen ataupun terjadi begitu saja.
Teori maupun konstruksi teoritis. Hubungan teknologi pendidikan dengan “teori” memunculkan masalah lain dalam pembahasan tentang teknologi pendidikan yang ada pada definisi 1977. Ada 3 hal di mana konsep teori tersebut berhubungan dengan teknologi pendidikan dalam definisi 1977, yaitu: (1) anggapan bahwa teknologi pendidikan “konstruksi teoritis” (AECT, 1977, hal. 18, 20, 24); (2) anggapan bahwa teknologi pendidikan itu sendiri merupakan sebuah “teori” (AECT, 1977, hal. 2, 135, 138); dan (3) bahwa “definisi teknologi pendidikan merupakan sebuah teori” (AECT, 1977, hal. 4, 20, 134). Untuk beberapa hal, ketiga hal mengenai teori dan teknologi pendidikan itu cukup akurat, namun tidak bisa digunakan secara bergantian seperti yang terjadi dalam definisi 1977. Sebuah konstruksi teoritis tidaklah sama dengan sebuah teori; bukan seperti itu kasusnya, bahwa jika definisi sebuah konsep itu merupakan teori, maka konsep itu sendiri merupakan teori. Tidak seperti itu.
 “Teknologi pendidikan” tentunya merupakan sebuah konstruksi teoritis. “Teknologi pendidikan” juga bisa dianggap sebagai suatu teori yang bergantung pada makna kata teori yang sesungguhnya. Definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 merupakan suatu teori tentang konsep abstrak “teknologi pendidikan.” Namun, karena definisi konsep teknologi pendidikan itu bisa merupakan suatu teori teknologi pendidikan, maka ini tidak berarti bahwa konsep teknologi pendidikan itu sendiri merupakan suatu teori. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa sebuah definisi konsep demokrasi merupakan suatu teori demokrasi namun, konsep demokrasi itu sendiri bukan merupakan suatu teori.
Membedakan antara pendidikan dengan instruksional. Upaya untuk merevisi definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977 telah menunjukkan adanya ketidak-relevanan konseptual yang ada dalam definisi sebelumnya. Tidak seperti para penyusun definisi 1977 yang berupaya membedakan teknologi pendidikan dengan teknologi instruksional, para penyusun definisi pada 1994 menegaskan bahwa problem tersebut tidak dapat dijawab dengan mudah. Mereka mengatakan,”Pada saat ini istilah educational technology (teknologi pendidikan) dan instructional technology (teknologi instruksional) digunakan secara bergantian (masih sering ketukar) oleh para professional di bidang teknologi pendidikan” (hal. 5). Namun mereka berpendapat begini:
“Karena istilah instructional technology itu (a) lebih umum digunakan di Amerika, (b) mencakup situasi praktis, (c) mampu menjelaskan fungsi teknologi dalam pendidikan, dan (d) menekankan pada instruksi dan pembelajaran, maka istilah instructional technology digunakan dalam definisi yang dibuat pada 1994, namun baik instructional technology maupun educational technology, keduanya dianggap sama.” (Seels & Richey, 1994, hal. 5)
2.      Asumsi – Asumsi yang Mendasari
Seels dan Richey (1994) telah membedakan definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1994 dengan definisi sebelumnya melalui identifikasi dan analisa terhadap beberapa asumsi yang mendasari definisi tersebut. Berikut adalah asumsi – asumsi tersebut:
  1. Instuctional technology telah ber-evolusi dari sebuah gerakan menjadi sebuah bidang dan profesi. Karena sebuah profesi itu berhubungan dengan dasar ilmu pengetahuan, maka definisi 1994 harus mampu mengidentifikasi dan menekankan instructional technology sebagai sebuah bidang dan praktik studi (hal. 2)
  2. Revisi definisi tersebut harus mencakup semua wilayah yang menjadi perhatian para praktisi dan sarjana. Wilayah ini merupakan wilayah utama dalam bidang teknologi pendidikan (hal. 2).
  3. Baik proses maupun produk merupakan hal penting bagi bidang teknologi pendidikan dan harus diikutsertakan dalam definisinya (hal. 2).
  4. Baik riset maupun praktik di bidang teknologi pendidikan dilaksanakan sesuai dengan norma etika profesinya (hal. 3).
  5. Ciri dari teknologi instruksional adalah efektifitas dan efisiensi (hal. 3).
  6. Konsep sistematik dijelaskan secara implisit dalam definisi 1994 karena konsep teknologi pendidikan sesuai dengan proses sistematik untuk mengembangkan instruksi (hal. 8).
Asumsi – asumsi tersebut telah membuat definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1994 menjadi lebih “ekonomis” dibanding definisi – definisi sebelumnya.
3.      Teori dan Praktik
Para penyusun definisi 1994 menegaskan bahwa definisi tersebut dibangun atas 4 komponen: (a) teori dan praktik; (b) rancangan, pengembangan, penggunaan, manajemen dan evaluasi; (c) proses dan sumber; dan (d) pembelajaran. Komponen – komponen ini bukanlah hal baru; namun dalam definisi 1994 ini, keempat komponen tersebut di-reorganisir, disederhanakan, dan dihubungkan, dalam sebuah cara yang membuat definisi 1994 ini menjadi unik.
Definisi 1994 menggunakan frase yang ada dalam definisi 1963 pada saat teknologi instruksional disebut sebagai teori dan praktik. Dan para penyusunnya pun bilang,”Sebuah profesi itu harus mengandung dasar ilmu pengetahun yang mendukung praktik” (Seels & Richey, 1994, hal. 9). Para penyusun tersebut menggunakan kalimat sederhana namun jelas bahwa “teori itu terdiri atas konsep, konstruksi, prinsip dan proposisi yang memberikan sumbangsih kepada sekumpulan ilmu pengetahuan” dan bahwa “praktik merupakan aplikasi dari ilmu pengetahuan” (hal. 11). Dengan melakukan hal yang demikian, maka para penyusun definisi 1994 telah menyelesaikan masalah perihal makna teori yang merupakan “peninggalan” dari definisi 1977, definisi teori yang terlalu tepat.
4.      Domains
Konsep (atau “domain” dari definisi 1994) rancangan, pengembangan, penggunaan, manajemen dan evaluasi mengandung dasar ilmu pengetahuan bidang teknologi pendidikan seperti terdapat pada Standard for the Accreditation of School Media Specialist and Educational Technology Specialist Programs (Standar Akreditasi Program Spesialis Teknologi Pendidikan dan Spesialis Media Sekolah) (AECT, 2000). Ketika konsep ini digabungkan dan dilaksanakan dalam urutan yang benar, maka konsep tersebut sama dengan tahapan perkembangan yang dijelaskan dalam definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1977. Konsep ini dapat ditelusuri secara langsung dari gagasan mengenai educational engineering (teknik pendidikan) yang dikembangkan oleh W.W. Charters (1945). Penting untuk diketahui bahwa para penyusun definisi 1994 tidak bermaksud mengatakan bahwa para praktisi teknologi pendidikan melakukan konsep teknologi pendidikan melalui urutannya masing – masing.
Seels dan Richey (1994) memberikan definisi mengenai proses dan sumber dengan mengatakan,”Sebuah proses itu merupakan rangkaian aktifitas atau operasional kerja yang diarahkan langsung kepada hasil tertentu” (hal. 12). “Sumber itu merupakan hal – hal pendukung terjadinya pembelajaran, termasuk sistem pendukung bagi lingkungan dan materi instruksional” (hal. 12). Dengan penjelasan ini, maka para penyusun tersebut mampu (a) menggunakan proses untuk memperkuat gagasan tentang teknik dan sains dalam instruksi; (b) mempertahankan perbedaan antara sumber (resources) sebagai sesuatu dengan proses; serta (c) bersikap konsisten terhadap terminologi yang digunakan dalam tiga definisi sebelumnya.
Konsep pembelajaran bukanlah hal baru dalam definisi 1994; namun, definisi pembelajaran yang dimaksudkan oleh para penyusun tersebut merupakan hal yang baru. Dalam definisi sebelumnya, istilah learning (pembelajaran) ditujukan untuk mengkonotasikan perubahan sikap seperti yang dijelaskan oleh Tyler (1950). Namun, para penyusun definisi 1994 ingin beralih dari orientasi terhadap sikap ini. Mereka mengatakan,”Dalam definisi ini, pembelajaran itu mengacu pada “perubahan permanen yang terjadi dalam sikap maupun pengetahuan seseorang melalui pengalaman” (Mayer, 1982, seperti dicatat dalam Seels & Richey, 1994, hal. 12). Frase melalui pengalaman maksudnya adalah menghindari hubungan sebab akibat serta ingin menciptakan pembelajaran yang direncanakan.
5.      Kritikan Terhadap Definisi 1994
Kritikan yang terjadi pada definisi 1994 adalah bahwa teknologi instruksional lebih tampak seperti pendekatan sistem terhadap pengembangan instruksional meskipun perubahan yang terjadi dalam praktik di bidang teknologi instruksional (seperti inisiatif berbasis konstruktifis serta penerimaan umum terhadap inovasi computer dalam metodologis kelas) telah membuat definisi 1994 tersebut menjadi lebih restriktif (terbatas) bagi kalangan guru, administrator sekolah, para peneliti dan sarjana. Kritikan ini menyebabkan perlunya rekonsiderasi (pertimbangan kembali) dan revisi definisi 1994 tersebut yang telah digunakan selama lebih dari satu dekade.
E.     Definisi Teknologi Pendidikan yang Aktual
Tugas AECT untuk menelaah kembali definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1994 ini harus dilakukan melalui penelusuran terhadap asal usul/sejarah definisi teknologi pendidikan disertai isu – isu lain seperti semantik ataupun keinginan untuk membuat definisi tersebut menjadi lebih representatif bagi para praktisi di bidang ini serta definisi yang mampu memberikan perhatian penuh terhadap teori dan riset yang lebih kritis terhadap keberlangsungan pembelajaran.
Di satu sisi, tidak boleh melupakan tujuan professional yang ditandaskan dalam definisi teknologi pendidikan yang dibuat pada 1963, yaitu:
Para pemimpin pendidikan harus mampu merespon perubahan teknologi secara lebih pintar jika DAVI mampu mendukungnya dengan serius, maka definisi dan terminologi sebagai basis bagi perkembangan professional merupakan pra-syarat mutlak pada saat ini, bidang komunikasi audiovisual telah mencapai taraf pengambilan keputusan harus membuat definisi teknologi pendidikan yang mampu mencakup berbagai taraf pengertian/pemahaman, namun memang tidak ada definisi yang betul – betul pasti. (Ely, 1963, hal. 16 – 18).
Jadi, definisi teknologi pendidikan yang aktual itu adalah, ”Teknologi Pendidikan merupakan studi dan praktik etis dalam memfasilitasi serta meningkatkan performa (penampilan) belajar dengan cara menciptakan, menggunakan dan mengatur proses serta sumber tekonologi yang tepat.”

1 komentar: