Jumat, 02 Januari 2015

Sejarah perkembangan hadis & Cabang - cabang ilmu hadis



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Hadis
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode,[1] sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1.      Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[2] Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Dalam menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu:[3]
a.          Melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh nabi untuk membina para jemaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b.         Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja.
c.          Untuk hal-hal sensitive, seperti yang berkaitan dengan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
d.         Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’.
e.          Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada nabi lalu nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di kalangan umat islam.
Sedangkan menurut Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan, dalam mengajar hadith, Nabi menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis.[4]
a.          Metode Ucapan (Lisan)
Sebagai seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar dengan keseluruhan hadith yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.[5] Para Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadith.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan Hadith dilakukan Nabi dalam dua level besar. Pertama, Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi. Kedua, para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632 M.
b.         Metode Tulisan
Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadith melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara ibadah lainya.
Dari data-data tersebut dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadith melalui media tulisan dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu, saya memahami larangan  Rasul untuk menulis hadith seperti laporan Abu Said al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda : “janganlah anda menulis (sesuatu)  dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai larangan penulisan hadits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an.
Ada beberapa keuntungan dari metode ini, yaitu:
1)      Lebih terjaga dan terpeliharanya hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadith menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan hadith maka perlulah dibukukan.
2)      Hadith – hadith yang tersebar dalam hafalan para ra>wi dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal – hal lain yang berkaitan dengan hadith.
3)      Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tahqiq, takhrij, tarikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat.
c.       Metode Peragaan praktis
Sepanjang hidup Rasul SAW, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan, persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai Hadits. Rasul memperagakan cara wudhu, shalat, haji, dan lain-lain. Dalam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya mempraktekkan shalat”  dan juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji”
Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar memalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau sehari. Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern masuk dalam kategori pendekatan campuran antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Suatu model penelitian yang jika dilakukan secara sungguh-sungguh validitasnya sangat meyakinkah dan komprehensif.
Pada masa nabi hadis belum dikodifikasikan secara resmi sebagaimana yang terjadi pada beberapa tahun berikutnya, yakni masa khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (99-101 H). rasulullah tidak pernah memerintahkan sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana Al qur’an yang ditulis secara resmi Zayd bin Tsabit, sekretaris beliau. Bahkan dalam suatu kesempatan nabi pernah melarrang menulis hadis sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa nabi bersabda:
" لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليكتبوّأ مقعده من النار
Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka”. (HR. Muslim).
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis tercampur dengan al Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar katanya: “ aku pernah menulis segala sesuatu yang ku dengar dari rasulullah, “aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku melakukannya. Mereka berkata : “kamu hendak menulis (hadis) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri untuk tidak menulis hadis hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda :
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar dariku selain kebenaran”
Berdasarkan hadis diatas diketahui bahwa ada sahabat tertentu yang diberi izin untuk menulis hadis, tetapi secara umum Nabi melarang umat islam untuk menulisnya. Nabi melarang untuk menulis hadis karena khawatir tercapur dengan al Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya. Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis. Karena menurut M Syuhudi Ismail : (a) hadis disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadis (b) perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al Qur’an (c) meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris, tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi (d) sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang sangat sederhana.[6]

2.      Periode kedua : Perkembangan hadis pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Masa ini disebut dengan masa sahabat besar dan belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al Qur’an dan mereka busaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al Qur’an , tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis itu.
Kehati-hatian dan usaha mebatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka merasa khawatir terjadinya kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadis  merupakan sumber ajaran islam setelah al Qur’an. Oleh karenaya para sahabat khusunya khulafa’ al Rasyidin dan sahabat lain seperti al Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat periwayatannya dan penerimaan hadis. Mereka menyampaikan dan menjaga hadis dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.[7]
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.

3.      Periode ketiga : Perkembangan pada masa sahabat kecil dan tabi’in
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Yaitu masa dimana hadis tidak lagi hanya berpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.  Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Pada masa ini, al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafa’ al Rasyidin (masa khalifah Utsman bin Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadis-hadis mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadis ke berbagai wilayah islam.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan,dan  pengembangan hadis terdapat di: a) Madinah, b) Mekah, c) Bashrah, d) Syam, e)Mesir,
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga; golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
 Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.[8]

4.      Periode keempat : Perkembangan hadis pada abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan  mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Pembukuan seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
            Berikut tempat dan nama-nama tokoh dalam pengumpulan hadits :
a.       Pengumpul pertama di kota Mekah, Ibnu Juraij (80-150 H)
b.      Pengumpul pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w. 150 H)
c.       Pengumpul pertama di kota Bashrah, Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
d.      Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w. 161 H.)
e.       Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i (w. 95 H)
f.       Pengumpul pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104-188 H)
g.      Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar al-Azdy (95-153 H)
h.      Pengumpul pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)
i.        Pengumpul pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j.        Pengumpul pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.[9]
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:
a.       Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
b.      Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
c.       Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any (211 H)
d.      Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
e.       Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198 H)
f.       Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
g.      Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
h.      Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
i.        Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
j.         A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k.      Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l.        Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204 H).
m.    Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan, Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.

5.      Periode kelima : Masa men-tashih-kan hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Munculnya periode ini, sebagaimana telah dijelaskan karena pada periode sebelumnya belum berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat, dan dari tabi’in dari hadis yang berasal dari Nabi. Begitu pula belum dipisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih adanya hadis yang mwadhu’ (palsu) tercampur pada hadis-hadis yang sahih. Masa ini disebut dengan ‘asr al-tajrid wa al-tashih wa al-tanqih (masa penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan).
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani,dan  Himsh.
Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal berikut.
a.       Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.      Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist
U1ama hadist yang mula-mula menyaring dan  membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan  Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Bentuk penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah
a.       Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh ,aqidah ,akhlak ,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b.      Kitab Sunan. Didalam kitab ini dijumpai hadist yang sahih dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya berbentuk Mushannaf dan hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh : Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan al Darimi.
c.       Kitab Musnad. Didalam kitab ini hadist disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada yang berdasrkan nabi kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan hijaiyah dll. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan musnab ustman ibn abi syaibah.

6.      Periode keenam : Dari abad IV – tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami' (masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan system penyusunan kitab-kitab hadis. Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al kutub al sittah, al muwatha’ karya malik ibn Anasdan al musnad karya Ahmad bin Hambal, para ulama mengalihkan perhatian mereka unntuk menyusun kitab-kitab yang berisi pengembangan dan penyempurnaan system penyusunan kitab-kitab hadis.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
a.       Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
b.      At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
c.       Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
d.      Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
e.       Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
f.       Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy.
Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
a.       Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily (582 H).
b.      Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
c.       Mengumpukan hadis-hadis yang terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
d.      Mengumpulan hadis-hadis hukum dan menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.

7.      Periode ketujuh (656 H – sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Kegiatan ulama pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah ada, mentakhrij hadis-hadis dalam kitab-kitab tertentu, dan membahas kandungan kitab-kitab hadis.
Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
B.     Cabang-cabang ilmu hadis
Ilmu hadis (Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis. Kata ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu). Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kedapa Rasulullah SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabitan dank e-adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.[10]
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science, sedangkan hadist secara etimologis, hadist memiliki makna jadid, qorib, dan khabar.[11]Adapun pengertiannya sebagai berikut:
a.       Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidast, hudatsa, dan huduts);
b.      Qorib: yang dekat, yang bekum lama terjadi;
c.       Khabar: warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980 : 20)
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut kedalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah.[12]
1.      Hadis Riwayah
Kata riwayah artinya eriwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah secara Bahasa berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama membeda-bedakan dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Akhfani, yakni:
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatanya dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in uyanng meliputi:
a.       Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain.
b.      Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak membahas hadis dari segi kualitasnya, seperti tentang adalah (ke-adilan) sanadnya, syadz (kejanggalan) dan illat (kecacatan matan.
Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW, dari kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut, ilmu ini juga bertujuan agar umat islam menjadikan Nabi SAW. Sebagai suri tauladan melalaui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.
2.      Ilmu hadis dirayah
Istilah ilmu hadis dirayah, menurut Izziuddin bin Jama’ah, yaitu: ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang denganya dapat diketahui keadaan sanad dan matannya.
Dari pengertian diatas diketahui bahwa ilmu hadis dirayah adalah imu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui ihwal sanad, matan cara penerimaan dan menyampaikan hadis, sifat rawi dan lain-lain.
Sassaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut memengaruhi kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah  yang bersangkutan dengan sanad disebut naql as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naql al-matan (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah : a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa kemasa sejak masa Rasulullah SAW sampai masa sekarang, b) mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, c) mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut dan d) mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hokum syara’.
Dari ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah, muncullah disiplin-disiplin yang merupakan cabang-cabang ilmu hadis. Diantara cabang-cabang ilmu hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian dilihat dari segi sanad, dari segi matan, dan dari segi sanad dan matan. Disiplin-disiplin ilmu yang yang berpangkal pada sanad adalah: Rijal al-hadis, Thabaqat al ruwah, Tarikh rijal al-hadis, dan al-Jarh wa al-ta’dil. Dan ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan antara lain: ilmu Gharib al-hadis, Asbab wurud al-hadis, Tawarikh al-mutun, nasikh wa al-mansukh, dan talfiq al hadis, sedang ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad dan matan antara lain ilmu ill al hadis.[13]
1.      Rijal al-hadis
Kata Rijal al-hadis berarti orang-orang disekitar hadis atau orang-orang yang meriwayatkan hadis serta berkecimpung dengan hadis Nabi. Subhi al-Shalih mendefinisikan ilmu Rijal al-hadis ini dengan:
علم يعرق به رواة العدق الحديث انهم رواة للحديث.
Artinya :
 “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist.
Ilmu rijal al hadis membahas keadaan para periwayat hadis semenjak masa sahabat, tabi’in dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadis. Di dalamnya diterangkan sejarah ringkas tetang riwayat hidup para periwayat, guru, dan murid mereka, tahun lahir dan wafat dan keadaan serta sifat-sifat mereka. Jelasnya ilmu ini membahas biografi para periwayat.
a.       Tarikh al-ruwah, yaitu ilmu yang mempelajari para periwayat hadis dari segi yangberkaitan dengan periwayat hadis. Secara Bahasa, berarti sejarah para periwayat hadis. Menurut pengertian etimologi, adalah ilmu yang membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat hadis.
Ilmu ini menjeaskan tentang keadaan para periwayat hadis dengan menyebutkan sejarah kelahiran, meninggal, para guru dan sejarah berkenaan dengan penerimaan dari mereka, murid-murid yang meriwayatkan hadis mereka , Negara dan atanah air mereka dll.
b.      Al-jarh wa al-ta’dil, yaitu ilmu yang menerangkan tentang cacat dan keadilan para periwayat hadis menggunakan redaksi khusus dan membahas pula tingkatan-tingkatan redaksi itu. Al-jarh adalah menampakkan sifat-sifat para periwayat hadis yang mengurangi keadilannya atau meniadakan keadilannya dan ke dhabitannya, yang darinya dapat ditentukan gugur, dhoif atau ditolak periwayatannya.
2.      Gharib al-hadis
Ilmu Gharib al-hadis adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang sukar diketahui dan yang jarang dipakai oleh umum. Ilmu ini menjelaskan suatu hadis yang samar maknanya. Para ulama memerhatikan ilmu ini karena ilmu ini mengkaji tingkatan kekuatan lafal hadis dan pemahaman maknanya, karena sukar bagi seseorang unntuk meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak dapat dipahami, atau menukil suatu hadis yang tidak baik penyampaiannya.
Kata gharib sendiri, berarti kalimat yang sulit dipahami karena asing atau tidak tersusun dengan baik. kata ini mengandung dua hal, yaitu: a) kalimat yang sulit dipahami kecuali dengan berfikir keras karena memiliki makna yang tinggi, dan b) ucapan seseorang yang berasal dari suatu daerah yang jauh dari mayoritas kabilah arab sehingga tedapat kata-kata asing.
3.      Mukhtalif al-hadis wa Musykilih
Para ulama menyebutilmu ini dengan ilmu Musykil al-hadis, Ikhtilaf al-hadis, Ta’wil al-hadis, dan Talfiq al-hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan maksud utnuk menghilangkan pertentangan itu atau menyesuaikan dan mengkompromikannya, sebagaimana pembahasan hadis-hadis yang sukar dipahami hingga hilang kesukaran itu dan menjadi jelas hakikatnya.
ﺍﻠﻌﻠﻡ ﺍﻟﺫﻯ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻰ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺙ ﺍﻟﺘﻰﻅﺎﻫﺭﻫﺎ ﻤﺘﻌﺎﺭﺽ ﻓﻴﺯﻴﻝ ﺘﻌﺎﺭﻀﻬﺎ ﺃﻭ ﻴﻭﻓﻕ ﺒﻴﻨﻬﺎ ﻜﻤﺎ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻰ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺙ ﺍﻟﺘﻰ ﻴﺸﻜﻝ ﻔﻬﻤﻬﺎ ﺍﻭ ﺘﺼﻭﺭﻫﺎ ﻔﻴﺩﻔﻊ ﺍﺸﻜﺎﻟﻬﺎ ﺤﻗﻴﻗﺘﻬﺎ                                                       
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, lalu dihilangkannya atau keduanya dikompromikan, sebagaimana membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Langkah yang ditempuh dapat berupa mengkompromikan dan menyesuaikan hadis-hadis yang bertentangan. Dengan kata lain, ilmu ini berusaha mempertemukan dua hadis atau lebih yang yang bertentangan maknanya.
4.      Nasikh wa Mansukh al-hadis
Nasikh dan mansukh berasal dari kata al-nasakh. Secara Bahasa kata al nasakh memiliki bebrapa makna diantaranya al izalah (menghilangkan), al-tabdil (mengganti), al-tahwil (mengalihkan) dan al-naql (memindahkan). Menurut terminology Abu Hafsh ibn Ahmad ibn ‘Utsman ibn Shahih, nasakh mempunyai dua definisi: a) nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hokum syara’ melalui jalan hokum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka, dalam hal ini hokum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba dan bersamaan dengan itu dating hokum lain sebagai pengganti; b) menurut sebagian ahl al-ushul, nasakh adalah penghapusan suatu hokum syara’ dengan dalil syara’ karena adanya rentang waktu. Dengan demikian, nasikh adalah dalil atau hokum syara’ yang dating kemudian sebagai pengganti hokum yang telah ada sebelumnya. Adapun mansukh secara Bahasa berarti sesuatu yang dihapus, dihilangkan, dipindah atau disalin. Menurut terminology ulama, mansukh adalah hokum syara’ yang berasal dari dalil syara’ yang pertama yang diubah atau dibatalkan oleh hokum dari dalil syara’ yangbaru.
العلم الذى يبحث عن الاحاديث المتعارضاة التى لايمكت التوفيق بينها من حيث الحكم على بعضها باه ناسخ وعلى بعضها الأخر بأنه منسخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما فبت تأخره كان ناسخا.
Artinya :
“Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan, yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh, dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.”
5.      Asbab wurud al-hadis
Kata asbaab berasal dari sabab yang artinya tali atau sesuatu yang menghubungkan antara sesuatu dengan yang lainnya. Namun yang dimaksud dengan asbaab wurud adalah sebab-sebab Rasulullah menuturkan atau memberikan sabda beliau kepada orang pada waktu itu.
Ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang latarbelakang dan sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya suatu hadis sangat penting untuk membantu mendapatkan pemahaman hadis secara sempurna.
6.      Ilal al-hadis
Kata ‘ilal merupakan bentuk jamak dari ‘illah, secara Bahasa berarti penyakit. Menurut terminology ulama hadis, illah adalah sebab tersembunyi yang menyebabkan cacat suatu hadis yang secara lahiriah tampak selamat.
علم يبحث عن الأسباب الخفية الغامضة من حيث النها تقضح فى صحة الحديث كوصل منقطع مرفوع موقف وادخال الحديث فى حديث وما شبه ذالك
Ilmu Ilal Al-Hadistadalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, misalnya mengatakan muttashil teradap hadist yang munqathi, menyebut marfu’ terhadap hadist yang maukuf, memasukkan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal lain seperti itu.



[1] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46.
[2] Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965
[3] Idri, Studi Hadis, (Kencana: Jakarta, 2010), hal. 32
[4] DR. Mahmud at-Tahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: diantama, 2007)
[5] DR.Safar ‘Azmillah, Maqabisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia, 1984) hal. 11
[6] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 101-102
[7] Idri, Ibid., hal. 39
[8] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 36-38
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, ibid., hal. 38-40
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, ibid., hal. 106
[11] Asep Herdi. Ilmu Hadist, (Bandung: Insan Mandiri, 2010), hal. 2
[12] Ibid., hal. 106
[13] Idri, ibid.., hal. 66-79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar