BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan Hadis
M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi
tujuh periode,[1]
sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut.
1.
Periode Pertama: Perkembangan Nadis pada Masa
Rasulutlah SAW.
Periode
ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat Islam).[2]
Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan
taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat
Islam dan membentuk masyarakat Islam.
Para
sahabat menerima hadis secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung misalnya saat Nabi SAW. mennheri ceramah, pengajian, khotbah, atau
penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak
langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik
dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang
datang kepada Nabi.
Dalam
menyampaikan hadis-hadisnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu:[3]
a.
Melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau
tempat pengajian yang diadakan oleh nabi untuk membina para jemaah. Melalui
majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
b.
Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu
hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja
oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya
beberapa orang saja.
c.
Untuk hal-hal sensitive, seperti yang
berkaitan dengan keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut
hubungan suami istri, nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
d.
Melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’.
e.
Melalui perbuatan langsung yang
disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti
berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada nabi lalu nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar di
kalangan umat islam.
Sedangkan menurut Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan,
dalam mengajar hadith, Nabi menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan
peragaan praktis.[4]
a.
Metode
Ucapan (Lisan)
Sebagai
seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang
beliau sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian,
ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan.
Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah
beliau yakin pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para
Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan
ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah
menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar
dengan keseluruhan hadith yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan
dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang
tidak bisa ditinggalkan.[5]
Para Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab
penduduk Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan
mereka dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan
untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi
dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadith.
Fakta
tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan Hadith dilakukan Nabi dalam
dua level besar. Pertama, Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering
bertemu Nabi. Kedua, para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu
yang telah mereka peroleh dari Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu
Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai
kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang sering bertemu beliau.
Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632
M.
b.
Metode
Tulisan
Gerak
diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada
raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau
kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode
penyebaran hadith melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang
dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara
ibadah lainya.
Dari
data-data tersebut dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadith melalui media
tulisan dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu,
saya memahami larangan Rasul untuk menulis hadith seperti laporan Abu
Said al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda : “janganlah anda menulis
(sesuatu) dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka
hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai
larangan penulisan hadits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan
akan bercampur dengan al-Qur’an.
Ada beberapa keuntungan dari metode
ini, yaitu:
1) Lebih terjaga dan terpeliharanya
hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadith
menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak
penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan
golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk menjaga kemurnian dan
keutuhan hadith maka perlulah dibukukan.
2) Hadith – hadith yang tersebar dalam
hafalan para ra>wi dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan
tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan
mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal – hal lain yang
berkaitan dengan hadith.
3) Mendorong dan memotifasi lahirnya
karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak ulama yang menulis buku –
buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tahqiq,
takhrij, tarikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat.
c.
Metode
Peragaan praktis
Sepanjang
hidup Rasul SAW, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku,
ucapan, persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai Hadits. Rasul
memperagakan cara wudhu, shalat, haji, dan lain-lain. Dalam setiap segi
kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk
mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya
mempraktekkan shalat” dan juga beliau bersabda: “Ambillah
cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji”
Dalam
menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah
qawliyah), beliau selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama
beliau dan belajar memalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau
sehari. Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern masuk dalam
kategori pendekatan campuran antara penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Suatu model penelitian yang jika dilakukan secara sungguh-sungguh validitasnya
sangat meyakinkah dan komprehensif.
Pada masa nabi hadis belum dikodifikasikan secara
resmi sebagaimana yang terjadi pada beberapa tahun berikutnya, yakni masa
khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (99-101 H). rasulullah tidak pernah memerintahkan
sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana Al qur’an
yang ditulis secara resmi Zayd bin Tsabit, sekretaris beliau. Bahkan dalam
suatu kesempatan nabi pernah melarrang menulis hadis sebagaimana diriwayatkan
oleh Abu Sa’id al-Khudzri bahwa nabi bersabda:
"
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ
متمعدا فليكتبوّأ مقعده من النار
“Janganlah
kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an. Barangsiapa yang menulis
dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya.
Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada)
tempatnya di neraka”. (HR. Muslim).
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadis
tercampur dengan al Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Dalam
kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar katanya: “
aku pernah menulis segala sesuatu yang ku dengar dari rasulullah, “aku ingin
menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku
melakukannya. Mereka berkata : “kamu hendak menulis (hadis) padahal Rasulullah
bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri untuk tidak
menulis hadis hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda :
“Tulislah, maka demi dzat yang aku
berada dalam kekuasaan-Nya tidaklah keluar dariku selain kebenaran”
Berdasarkan hadis diatas diketahui bahwa ada sahabat
tertentu yang diberi izin untuk menulis hadis, tetapi secara umum Nabi melarang
umat islam untuk menulisnya. Nabi melarang untuk menulis hadis karena khawatir
tercapur dengan al Qur’an dan pada kesempatan lain ia membolehkannya. Adanya
larangan tersebut berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi
tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadis dapat ditulis. Karena menurut M
Syuhudi Ismail : (a) hadis disampaikan tidak selalu dihadapan sahabat yang
pandai menulis hadis (b) perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah
pada Al Qur’an (c) meskipun Nabi mempunyai beberapa sekretaris, tetapi mereka
hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun dan surat-surat Nabi (d) sangat
sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal orang yang masih
hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan peralatan yang
sangat sederhana.[6]
2.
Periode kedua : Perkembangan hadis pada
masa Khulafa’ Al-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode
ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa
membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada
umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup,
yaitu Al-Quran dan hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat.
Masa ini
disebut dengan masa sahabat besar dan belum begitu berkembang. Pada satu sisi,
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al
Qur’an dan mereka busaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Pada sisi lain,
meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al Qur’an ,
tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka terima
secara utuh ketika nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi
diri dalam meriwayatkan hadis itu.
Kehati-hatian
dan usaha mebatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena
mereka merasa khawatir terjadinya kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam setelah al
Qur’an. Oleh karenaya para sahabat khusunya khulafa’ al Rasyidin dan sahabat
lain seperti al Zubair, ibn Abbas dan Abu Ubaidah berusaha memperketat
periwayatannya dan penerimaan hadis. Mereka menyampaikan dan menjaga hadis
dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya
kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.[7]
Pada masa
Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas.
Penulisan hadis pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan,
pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan
hadis, dan sebaliknya, Umar menekankan
agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran.
3.
Periode ketiga : Perkembangan pada masa
sahabat kecil dan tabi’in
Periode
ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang
dan meluasnya periwayatan hadis). Yaitu masa dimana hadis tidak lagi hanya
berpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para
sahabat sebagai tokoh-tokohnya. Pada
masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan
dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam
rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Pada masa
ini, al Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi
mengkhawatirkan mereka. Selain itu pada masa akhir periode Khulafa’ al Rasyidin
(masa khalifah Utsman bin Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar
kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in
untuk mempelajari hadis-hadis mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada
tersebarnya hadis ke berbagai wilayah islam.
Para
sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan
berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis ke
pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi
ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan
lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadis di berbagai daerah di
seluruh negeri.
Adapun
lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian,
pendidikan,dan pengembangan hadis
terdapat di: a) Madinah, b) Mekah, c) Bashrah, d) Syam, e)Mesir,
Pada
periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam
mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali
Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan
khawarij, yang menentang ‘Ali, dan golongan Mu'awiyah, dan ketiga;
golongan jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu
orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan
keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung
golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.[8]
4.
Periode keempat : Perkembangan hadis
pada abad II dan III Hijriah
Periode
ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan).
Maksudnya, penulisan dan pembukuan
secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah.
Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadis sudah banyak ditulis,
baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Masa
pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H, Sebagai khalifah, Umar
Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadis dalam hapalannya semakin
banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para
perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan bumi
bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.
Pembukuan
seluruh hadist yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn
Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari
ulama-ulama hadist pada masanya.
Setelah
itu, para ulama besar berlomba-lomba membukulcan hadist atas anjuran Abu `Abbas
As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.
Berikut tempat dan nama-nama tokoh
dalam pengumpulan hadits :
a. Pengumpul pertama di kota Mekah,
Ibnu Juraij (80-150 H)
b. Pengumpul pertama di kota Madinah,
Ibnu Ishaq (w. 150 H)
c. Pengumpul pertama di kota Bashrah,
Al-Rabi' Ibrl Shabih (w. 160 H)
d. Pengumpul pertama di Kuffah, Sufyan
Ats-Tsaury (w. 161 H.)
e. Pengumpul pertama di Syam, Al-Auza'i
(w. 95 H)
f. Pengumpul pertama di Wasith, Husyain
Al-Wasithy (104-188 H)
g. Pengumpul pertama diYaman, Ma'mar
al-Azdy (95-153 H)
h. Pengumpul pertama di Rei, Jarir
Adh-Dhabby (110-188 H)
i.
Pengumpul
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11 -181 H)
j.
Pengumpul
pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa'ad (w. 175 H).
Semua
ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.[9]
Kitab-kitab
hadis yang telah dibukukan dan dikumpulkan dalam abad kedua ini, jumlahnya cukup
banyak. Akan tetapi, yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:
a. Al-Muwaththa', susurran Imam Malik (95 H-179 H);
b. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
c. Al-jami', susunan Abdul Razzaq As-San'any
(211 H)
d. Al-Mushannaf, susunan Sy'bah Ibn Hajjaj (160 H)
e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan ibn 'Uyainah (198
H)
f. Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa'ad (175 H)
g. Al-Mushannaf, susnan Al-Auza'i (150 H)
h. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
i.
Al-Maghazin
Nabawiyah, susunan
Muhammad Ibn Waqid Al¬Aslamy.
j.
A1-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
k. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali.
l.
Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i (204
H).
m. Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafi'i.
Tokoh-tokoh
yang masyhur pada abad kedua hijriah adalah Malik,Yahya ibn Sa'id AI-Qaththan,
Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu'bah Ibnu Hajjaj, Abdul
Ar-Rahman ibn Mahdi, Al-Auza'i, Al-Laits, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi'i.
5.
Periode kelima : Masa men-tashih-kan
hadis dan penyusunan kaidah-kaidahnya
Abad
ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu
Juraij, kitab Muwaththa' -Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan
disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya
semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Munculnya
periode ini, sebagaimana telah dijelaskan karena pada periode sebelumnya belum
berhasil dipisahkan beberapa hadis yang berasal dari sahabat, dan dari tabi’in
dari hadis yang berasal dari Nabi. Begitu pula belum dipisahkan beberapa hadis
yang dha’if dari yang shahih. Bahkan masih adanya hadis yang mwadhu’ (palsu)
tercampur pada hadis-hadis yang sahih. Masa ini disebut dengan ‘asr al-tajrid wa al-tashih wa al-tanqih (masa
penerimaan, mentashihan dan penyempurnaan).
Pada
awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya
masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain
untuk kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan
ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah
yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei,
Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah,
`Asqalani,dan Himsh.
Imam
Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai
daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab
Shahih-nya.
Para ulama
pada mulanya menerima hadist dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya,
tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan
sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya upaya dari
orang-orang zindiq untuk rpengacaukan hadis, para ulama pun melakukan hal-hal
berikut.
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari
berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih
dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadist
U1ama
hadist yang mula-mula menyaring dan
membedakan hadist-hadist yang sahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq ibn Rahawaih, seorang
imam hadis yang sangat termasyhur.
Pekerjaan
yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al-Imam
Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius
Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap
sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim,
yaitu Imam Muslim.
Sesudah
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim,
bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud,
At-Tirmidzi,dan An-Nasa'i. Mereka menyusun
kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn,
Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,dan
Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan
masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Di samping
itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian
digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab
induk itu menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.
Bentuk
penyusunan Kitab hadist pada Abad ke III Hijriyah
a. Kitab Shahih, kitab ini hanya
menghimpun hadist-hadist sahih,sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan
kedalamnya.Penyusunannya berbentuk Mushannaf, Yaitu penyajian berdasarkan bab
masalah tertentu. Hadist yang dihimpun menyangkut masalah fiqh ,aqidah ,akhlak
,sejarah dan tafsir .Contoh : sahih Muslim dan sahih Bukhari.
b. Kitab Sunan. Didalam kitab ini
dijumpai hadist yang sahih dan juga hadit dhaif yang tidak terlalu lemah dan
mungkar.Terhadap hadist dhaif dijelaskan sebab kedhaifannya. Bentuk penyusunannya
berbentuk Mushannaf dan hadistnya terbatas hanya pada masalah fiqh . Contoh :
Sunan Abu Dawud, Sunan at Turmidzi, Sunan al Nasai, Sunan Ibn Majah dan Sunan
al Darimi.
c. Kitab Musnad. Didalam kitab ini
hadist disususn berdasrkan nama perawi pertama. Urutan nama perawi pertama ada
yang berdasrkan nabi kabilah seperti bani hasyim dsb. Ada juga yang berdasarkan
nama sahabat berdasrkan urutan waktu memeluk Islam,dan ada yang berdasarkan
hijaiyah dll. Contoh : Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Abu qasim Albaghawi, dan
musnab ustman ibn abi syaibah.
6.
Periode keenam : Dari abad IV – tahun
656 H
Periode
keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah
angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa
Al-Istidraqi wa Al-jami' (masa
pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan).
Masa seleksi dilanjutkan dengan masa pengembangan dan penyempurnaan
system penyusunan kitab-kitab hadis. Penyusunan kitab-kitab pada masa ini lebih
mengarah kepada usaha mengembangkan beberapa variasi pembukuan kitab-kitab yang
sudah ada. Maka setelah berjalan beberapa saat dari munculnya al kutub al
sittah, al muwatha’ karya malik ibn Anasdan al musnad karya Ahmad bin
Hambal, para ulama mengalihkan perhatian mereka unntuk menyusun kitab-kitab
yang berisi pengembangan dan penyempurnaan system penyusunan kitab-kitab hadis.
Pada
periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada
abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
a. Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
b. At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
c. Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
d. Ash-Shalih, susunan Abu `Awanah
e. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
f. Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid
Al-Maqdisy.
Di antara
usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah:
a. Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim
dalam sebuah kitab. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhari
dan Muslim adalah Kitab Al Fami' Bain Ash-Shahihani oleh Ismail Ibn
Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr
Al-Humaidy (488 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Haq Al-Asybily
(582 H).
b. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab
enam. Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab enam, adalah Tajridu
As-Shihah oleh Razin Mu'awiyah, Al-Fami' oleh Abdul Haqq Ibn Abdul
Ar-Rahman Asy-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582 H).
c. Mengumpukan hadis-hadis yang
terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan
hadis-hadis dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh
Al-Imam Husain Ibn Mas'ud Al-Baghawi (516 H); (2) Yami'ul Masanid wal Alqab,
oleh Abdur Rahman ibn Ali Al-Jauzy (597 H); (3) Bakrul Asanid, oleh
Al-Hafidh Al-Hasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (49I H).
d. Mengumpulan hadis-hadis hukum dan
menyusun kitab-kitab ‘Atkraf.
7.
Periode ketujuh (656 H – sekarang)
Periode
ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w.
656 H.) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa
At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an,
dan pembahasan.
Kegiatan
ulama pada masa ini berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadis yang
sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab-kitab yang sudah
ada, mentakhrij hadis-hadis dalam kitab-kitab tertentu, dan membahas kandungan
kitab-kitab hadis.
Pada periode
ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang
terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di
antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping
itu, para ulama hadis pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat
dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami'
Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu
Katsir, dan fami'ul fawami
susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak
kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadis-hadis yang tidak disebut
perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha
menerangkan tempat-tempat pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam
sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf
karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf
oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.
B.
Cabang-cabang ilmu hadis
Ilmu hadis (Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadis.
Kata ‘ulum adalah bentuk jamak
dari kata ‘ilm (ilmu). Secara
etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadis adalah ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kedapa
Rasulullah SAW, dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut ke-dhabitan
dank e-adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad dan sebagainya.[10]
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu
hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi
bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara
sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science, sedangkan hadist secara etimologis, hadist
memiliki makna jadid, qorib, dan khabar.[11]Adapun
pengertiannya sebagai berikut:
a. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya
hidast, hudatsa, dan huduts);
b. Qorib: yang dekat, yang bekum lama
terjadi;
c. Khabar: warta, yakni: sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980
: 20)
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan
ilmu hadis tersebut kedalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadis riwayah dan ilmu
hadis dirayah.[12]
1.
Hadis
Riwayah
Kata riwayah artinya eriwayatan atau cerita. Ilmu hadis
riwayah secara Bahasa berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama membeda-bedakan
dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal diantara
definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Akhfani, yakni:
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang
membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya,
pencatatanya dan penelitian lafazh-lafazhnya.
Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat dan tabi’in uyanng meliputi:
a. Cara periwayatannya, yakni cara
penerimaan dan penyampaian hadis dari seorang periwayat (rawi) kepada periwayat
lain.
b. Cara pemeliharaan, yakni
penghafalan, penulisan dan pembukuan hadis. Ilmu ini tidak membahas hadis dari
segi kualitasnya, seperti tentang adalah (ke-adilan) sanadnya, syadz
(kejanggalan) dan illat (kecacatan matan.
Ilmu hadis
riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW, dari kesalahan dalam proses
periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut, ilmu ini juga
bertujuan agar umat islam menjadikan Nabi SAW. Sebagai suri tauladan melalaui
pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya.
2.
Ilmu
hadis dirayah
Istilah ilmu hadis dirayah, menurut Izziuddin bin Jama’ah,
yaitu: ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang denganya dapat diketahui keadaan
sanad dan matannya.
Dari pengertian diatas diketahui bahwa ilmu hadis dirayah
adalah imu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui ihwal sanad, matan
cara penerimaan dan menyampaikan hadis, sifat rawi dan lain-lain.
Sassaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan
dengan segala persoalan yang terkandung di dalamnya yang turut memengaruhi
kualitas hadis tersebut. Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut naql
as-sanad (kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian karena yang
dibahas ilmu itu adalah akurasi (kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat
sampai kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis
tersebut.kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naql al-matan
(kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya
adalah materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan
Rasulullah SAW.
Tujuan dan faedah ilmu hadis dirayah adalah : a) mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa kemasa sejak masa
Rasulullah SAW sampai masa sekarang, b) mengetahui tokoh-tokoh dan usaha yang
telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis, c)
mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan
hadis lebih lanjut dan d) mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan
kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hokum syara’.
Dari ilmu hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah, muncullah
disiplin-disiplin yang merupakan cabang-cabang ilmu hadis. Diantara
cabang-cabang ilmu hadis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian dilihat
dari segi sanad, dari segi matan, dan dari segi sanad dan matan.
Disiplin-disiplin ilmu yang yang berpangkal pada sanad adalah: Rijal al-hadis, Thabaqat al ruwah, Tarikh
rijal al-hadis, dan al-Jarh wa
al-ta’dil. Dan ilmu-ilmu yang berpangkal pada matan antara lain: ilmu Gharib al-hadis, Asbab wurud al-hadis,
Tawarikh al-mutun, nasikh wa al-mansukh, dan talfiq al hadis, sedang ilmu-ilmu yang berpangkal pada sanad dan
matan antara lain ilmu ill al hadis.[13]
1.
Rijal al-hadis
Kata Rijal al-hadis berarti
orang-orang disekitar hadis atau orang-orang yang meriwayatkan hadis serta
berkecimpung dengan hadis Nabi. Subhi al-Shalih mendefinisikan ilmu Rijal
al-hadis ini dengan:
علم يعرق به
رواة العدق الحديث انهم رواة للحديث.
Artinya
:
“Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam
kapasitas mereka sebagai perawi hadist”.
Ilmu rijal al hadis membahas keadaan para periwayat
hadis semenjak masa sahabat, tabi’in dan generasi-generasi berikutnya yang
terlibat dalam periwayatan hadis. Di dalamnya diterangkan sejarah ringkas
tetang riwayat hidup para periwayat, guru, dan murid mereka, tahun lahir dan
wafat dan keadaan serta sifat-sifat mereka. Jelasnya ilmu ini membahas biografi
para periwayat.
a.
Tarikh al-ruwah, yaitu ilmu yang mempelajari para
periwayat hadis dari segi yangberkaitan dengan periwayat hadis. Secara Bahasa,
berarti sejarah para periwayat hadis. Menurut pengertian etimologi, adalah ilmu
yang membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat hadis.
Ilmu ini menjeaskan tentang keadaan para periwayat
hadis dengan menyebutkan sejarah kelahiran, meninggal, para guru dan sejarah
berkenaan dengan penerimaan dari mereka, murid-murid yang meriwayatkan hadis
mereka , Negara dan atanah air mereka dll.
b.
Al-jarh wa al-ta’dil, yaitu ilmu yang menerangkan
tentang cacat dan keadilan para periwayat hadis menggunakan redaksi khusus dan
membahas pula tingkatan-tingkatan redaksi itu. Al-jarh adalah menampakkan
sifat-sifat para periwayat hadis yang mengurangi keadilannya atau meniadakan
keadilannya dan ke dhabitannya, yang darinya dapat ditentukan gugur, dhoif atau
ditolak periwayatannya.
2.
Gharib al-hadis
Ilmu Gharib al-hadis
adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadis yang
sukar diketahui dan yang jarang dipakai oleh umum. Ilmu ini menjelaskan suatu
hadis yang samar maknanya. Para ulama memerhatikan ilmu ini karena ilmu ini
mengkaji tingkatan kekuatan lafal hadis dan pemahaman maknanya, karena sukar
bagi seseorang unntuk meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak dapat dipahami,
atau menukil suatu hadis yang tidak baik penyampaiannya.
Kata gharib sendiri, berarti kalimat yang sulit dipahami
karena asing atau tidak tersusun dengan baik. kata ini mengandung dua hal,
yaitu: a) kalimat yang sulit dipahami kecuali dengan berfikir keras karena
memiliki makna yang tinggi, dan b) ucapan seseorang yang berasal dari suatu
daerah yang jauh dari mayoritas kabilah arab sehingga tedapat kata-kata asing.
3.
Mukhtalif al-hadis wa Musykilih
Para ulama
menyebutilmu ini dengan ilmu Musykil
al-hadis, Ikhtilaf al-hadis, Ta’wil al-hadis, dan Talfiq al-hadis, yaitu
ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan
maksud utnuk menghilangkan pertentangan itu atau menyesuaikan dan
mengkompromikannya, sebagaimana pembahasan hadis-hadis yang sukar dipahami
hingga hilang kesukaran itu dan menjadi jelas hakikatnya.
ﺍﻠﻌﻠﻡ ﺍﻟﺫﻯ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻰ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺙ ﺍﻟﺘﻰﻅﺎﻫﺭﻫﺎ ﻤﺘﻌﺎﺭﺽ ﻓﻴﺯﻴﻝ ﺘﻌﺎﺭﻀﻬﺎ
ﺃﻭ ﻴﻭﻓﻕ ﺒﻴﻨﻬﺎ ﻜﻤﺎ ﻴﺒﺤﺙ ﻓﻰ ﺍﻷﺤﺎﺩﻴﺙ ﺍﻟﺘﻰ ﻴﺸﻜﻝ ﻔﻬﻤﻬﺎ ﺍﻭ ﺘﺼﻭﺭﻫﺎ ﻔﻴﺩﻔﻊ ﺍﺸﻜﺎﻟﻬﺎ
ﺤﻗﻴﻗﺘﻬﺎ
Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara lahiriyyah
saling bertentangan, lalu dihilangkannya atau keduanya dikompromikan,
sebagaimana membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami
atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan
dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya.
Langkah yang ditempuh dapat berupa mengkompromikan dan
menyesuaikan hadis-hadis yang bertentangan. Dengan kata lain, ilmu ini berusaha
mempertemukan dua hadis atau lebih yang yang bertentangan maknanya.
4.
Nasikh wa Mansukh al-hadis
Nasikh dan mansukh berasal dari kata al-nasakh. Secara Bahasa
kata al nasakh memiliki bebrapa makna diantaranya al izalah (menghilangkan),
al-tabdil (mengganti), al-tahwil (mengalihkan) dan al-naql (memindahkan).
Menurut terminology Abu Hafsh ibn Ahmad ibn ‘Utsman ibn Shahih, nasakh
mempunyai dua definisi: a) nasakh berarti penjelasan tentang berakhirnya hokum
syara’ melalui jalan hokum syara’ karena adanya rentang waktu. Maka, dalam hal
ini hokum pertama menjadi mansukh karena batas waktunya telah tiba dan
bersamaan dengan itu dating hokum lain sebagai pengganti; b) menurut sebagian
ahl al-ushul, nasakh adalah penghapusan suatu hokum syara’ dengan dalil syara’
karena adanya rentang waktu. Dengan demikian, nasikh adalah dalil atau hokum
syara’ yang dating kemudian sebagai pengganti hokum yang telah ada sebelumnya.
Adapun mansukh secara Bahasa berarti sesuatu yang dihapus, dihilangkan,
dipindah atau disalin. Menurut terminology ulama, mansukh adalah hokum syara’
yang berasal dari dalil syara’ yang pertama yang diubah atau dibatalkan oleh
hokum dari dalil syara’ yangbaru.
العلم الذى يبحث عن الاحاديث
المتعارضاة التى لايمكت التوفيق بينها من حيث الحكم على بعضها باه ناسخ وعلى بعضها
الأخر بأنه منسخ فما ثبت تقدمه كان منسوخا وما فبت تأخره كان ناسخا.
Artinya :
“Ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang berlawanan,
yang tidak dapat dipertemukan dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut
mansukh, dan yang datang kemudian dinamakan nasikh.”
5.
Asbab wurud al-hadis
Kata
asbaab berasal dari sabab yang artinya tali atau sesuatu yang menghubungkan
antara sesuatu dengan yang lainnya. Namun yang dimaksud dengan asbaab wurud
adalah sebab-sebab Rasulullah menuturkan atau memberikan sabda beliau kepada
orang pada waktu itu.
Ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang
latarbelakang dan sebab-sebab adanya hadis. Mengetahui peristiwa yang menjadi
latar belakang disampaikannya suatu hadis sangat penting untuk membantu
mendapatkan pemahaman hadis secara sempurna.
6.
Ilal al-hadis
Kata ‘ilal merupakan bentuk jamak dari ‘illah, secara Bahasa
berarti penyakit. Menurut terminology ulama hadis, illah adalah sebab
tersembunyi yang menyebabkan cacat suatu hadis yang secara lahiriah tampak
selamat.
علم يبحث عن الأسباب الخفية الغامضة
من حيث النها تقضح فى صحة الحديث كوصل منقطع مرفوع موقف وادخال الحديث فى حديث وما
شبه ذالك
Ilmu Ilal Al-Hadistadalah ilmu yang
membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan keshahihan hadist,
misalnya mengatakan muttashil teradap hadist yang munqathi, menyebut marfu’
terhadap hadist yang maukuf, memasukkan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal
lain seperti itu.
[1] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46.
[2] Barmawie Umarie. Status
Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965
[3] Idri, Studi Hadis, (Kencana: Jakarta, 2010), hal. 32
[4] DR. Mahmud at-Tahhan, Ushul
al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid.Terj.
Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: diantama, 2007)
[5] DR.Safar
‘Azmillah, Maqabisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia,
1984) hal. 11
[6] Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hal. 101-102
[7] Idri, Ibid., hal. 39
[8] Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), hal. 36-38
[9] Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
ibid., hal. 38-40
[10] Agus Solahudin dan Agus Suyadi,
ibid., hal. 106
[11] Asep Herdi. Ilmu Hadist,
(Bandung: Insan Mandiri, 2010), hal. 2
[12] Ibid., hal. 106
[13] Idri, ibid.., hal. 66-79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar